RUSIA (Jurnalislam.com) – Para pejabat di Crimea yang dijajah Moskow mengatakan pada hari Kamis bahwa seorang pemimpin muslim masyarakat Tatar yang dihormati, telah ditangkap in-absentia dan menghadapi tiga tuduhan yang tidak ditentukan untuk "kejahatan terencana", Al jazeera melaporkan Kamis (22/01/2016).
Tatar adalah minoritas Muslim dengan sejarah panjang penyiksaan oleh Rusia.
Mustafa Jemilev, seorang anggota parlemen Ukraina yang diasingkan dari semenanjung Laut Hitam karena menyerukan seruan "ekstrimis" untuk menentang aneksasi Rusia tahun 2014, menginspirasi "blokade" sipil Krimea tahun lalu oleh aktivis Tatar dan Ukraina.
Sebuah pengadilan distrik di kota Simferopol di Crimean selatan menempatkan Jemilev masuk daftar pencarian federal dan internasional pada hari Kamis karena "bersembunyi dari tuntutan dan pengadilan, kemungkinan menekan saksi, dan menghilangkan bukti."
Krimea jaksa penuntut Natalya Poklonskaya mengatakan tuduhan yang belum dipublikasikan untuk mencegah obstruksi keadilan dari serangkaian "gugatan terencana" yang dilakukan oleh Jemilev, kantor berita RIA Novosti mengutip dia yang mengatakan.
Kementerian Luar Negeri Ukraina mengutuk tuduhan tersebut . Juru bicara Kementerian Mariana Betsa mengatakan dalam tweet bahwa mereka adalah bagian dari "represi" Tatar Krimea yang berjumlah sekitar 15 persen dari populasi Crimea yang berjumlah 2 juta.
Jemilev, 72, adalah seorang penentang era Soviet yang menghabiskan 15 tahun di penjara atau pengasingan karena menganjurkan masyarakat Tatar cara yang tepat untuk kembali ke Crimea setelah mereka dideportasi massal tahun 1944 atas tuduhan bekerja sama dengan Nazi Jerman selama Perang Dunia II. Hampir 200.000 warga Tatar dideportasi ke Soviet Asia Tengah, hingga setengah dari mereka (100.000 orang) meninggal karena kelaparan dan penyakit.
Warga yang selamat dan keturunan mereka dicap "pengkhianat" sampai pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev memperbolehkan mereka kembali ke Crimea di akhir 1980-an. Jemilev menghadap Mejlis, parlemen Tatar informal yang membantu menyelesaikan konflik dengan etnis Rusia dan Ukraina yang mendominasi semenanjung.
Pada bulan November, Ukraina mengakui deportasi tersebut sebagai "genosida."
Meskipun Tatar menyatakan bahwa pemerintah Ukraina diam-diam menghalangi mereka memperoleh pekerjaan di kantor pemerintah dan polisi, banyak dari mereka yang menentang aneksasi 2014 dan munculnya ribuan prajurit Rusia tanpa seragam.
Kremlin menyatakan aneksasi itu "tak berdarah," tapi seorang aktivis etnis Tatar yang memprotes langkah itu diculik oleh pejuang pro-Moskow dan kemudian ditemukan tewas dengan bekas penyiksaan. Beberapa warga Tatar lainnya telah diculik dan diduga dibunuh, keluarga mereka mengatakan kepada Al Jazeera.
Pemerintah Rusia juga mulai melakukan pencarian besar-besaran dan penahanan warga Tatar, khususnya Muslim yang rajin ke masjid. Banyak dari mereka menyamakan penganiayaan tersebut dengan kebijakan represif Moskow di wilayah Kaukasus.
Deddy | Al Jazeera | Jurnalislam