JAKARTA(Jurnalislam.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) ingatkan publik soal tiga hal pedoman pengurusan jenazah terinfeksi virus corona. Semuanya diatur dalam Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam mengatakan, fatwa tersebut dibuat sebagai bentuk komitmen keagamaan dan ikhtiar dalam menangani, merawat, sekaligus menanggulangi Covid-19. Untuk itu, kata dia, tiga hal tersebut harus diperhatikan sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan sesuai komitmen dan ikhtiar.
“Aspek pertama, ketertundukan manusia untuk menyadari ini sebagai musibah, dan menjamin bagaimana tetap di dalam koridor untuk tetap tunduk terhadap aturan Allah dengan meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan tetap melaksanakan ibadah,” katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Minggu (05/04/2020).
Kedua, menjaga keselamatan diri dari tugas keagamaan dan kemanusiaan serta bentuk penghambaan kepada Allah SWT. Ketiga, memastikan keselamatan orang lain dalam proses perawatan dan pengurusan jenazah tetap sesuai dengan ketentuan agama dan protokol kesehatan.
Niam menerangkan, secara substansi Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 juga menyinggung tentang hukum yang mengatur setiap muslim yang menjadi korban Covid-19 secara syariah adalah syahid dan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. “Perlu dipahami bahwa setiap muslim yang menjadi korban Covid-19, secara syari adalah syahid, memiliki kemuliaan dan kehormatan di mata Allah SWT,” ujarnya.
Terkait pemakaman, kata dia, ada empat hal yang menjadi bagian dari hak jenazah yang harus ditunaikan oleh setiap muslim secara perwakilan. Seperti terkait pemandian, pengkafanan, menyalatkan, dan penguburan jenazah dengan menerapkan protokol kesehatan tanpa meninggalkan ketentuan yang telah diatur dalam agama.
Pada proses pemandian jenazah dimungkinan dengan proses pengucuran air ke seluruh tubuh. Apabila tidak dimungkinkan bisa tayamum, apabila tidak dimungkinkan juga, maka dapat langsung dikafankan. Selanjutnya, proses pengkafanan bisa dilakukan dengan melengkapi proteksi menggunakan plastik tidak tembus air, kemudian diletakkan ke dalam peti mati dan diikuti proses disinfeksi yang dimungkinkan secara syari.
Setelah itu, kata dia, proses menyalatkan yang dalam hal ini harus dipastikan tempat salat aman dan suci dari proses penularan, minimal satu orang muslim. Dengan mengikuti protokol kesehatan di dalam proses kepengurusan jenazah dan juga ketentuan di dalam fatwa sebagai panduan kepengurusan jenazah muslim, maka tidak perlu ada kekhawatiran terjadinya penularan kepada orang yang hidup.
Dalam hal ini kekhawatiran dan juga kewaspadaan tetap penting, tetapi harus dibingkai dengan ilmu pengetahuan dan juga pemahaman yang utuh. “Jangan sampai, akibat kekhawatiran kita minus pengetahuan yang memadai, kemudian kita berdosa, karena tidak menunaikan kewajiban atas hak jenazah dengan melakukan penolakan pemakaman,” tuturnya.