JAKARTA (Jurnalislam.com) – Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) versi 15 September 2019 masih menyisakan banyak persoalan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat beberapa masalah.
Di antaranya, tindak pidana pelanggaran berat, catatan kritis terhadap pemidanaan, mempertanyakan frasa yang menimbulkan ketidakpastian hukum serta penerapan fungsi hukum pidana ‘ultimum remidium’ yang kurang tepat.
“Kami menilai RKUHP melihat paradigma pelanggaran HAM berat memiliki sesuatu yang berbeda dengan hukum internasional,” kata Komisioner Komnas HAM, Chairul Anam di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (19/9/2019).
Karena itu, Komnas HAM mendorong pemerintah dan DPR menunda pengesahan RKUHP ini dan dilakukan perbaikan terhadap pasal-pasal bermasalah. Sehingga penegakan hukum dapat mengurangi angka pelanggaran.
Seperti pada pasal 599 KUHP, menurutnya, ada kesalahan mendasar di mana setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum akan dihukum. Sedangkan dalam hukum internasional adalah setiap tindakan, bukan setiap orang.
“Kalau dalam situasi perang, ada pasukan pemerintah ada pasukan pemberontak, karena paradigma setiap orang tidak bisa disamakan dengan kejahatan biasa karena harus ada pertanggungjawaban dari pembuat kebijakan,” ujarnya.
Ia juga menilai dalam beberapa konteks, RKUHP belum bisa memberikan kepastian hukum karena ada frasa yang menimbulkan multitafsir. Menurutnya, frasa itu tidak memberikan kepastian hukum seperti frasa “menimbulkan kegaduhan” dan “dalam living law”.
“Seperti ada orang yang mengeluh karena kesulitan hidup dan menjadi gelandangan bisa kena pidana, ini tentu menurut kami tidak tepat karena negara telah mengatur orang yang terlantar atau fakir miskin menjadi tanggung jawab konstitusi,” paparnya.
Selain itu, penerapan fungsi hukum pidana ultimum remidium dalam RKUHP masih kurang tepat dalam beberapa pasal. Menurut Chairul, banyak persoalan sosial yang seharusnya dapat menggunakan penghukuman lain yang mampu menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat justru dikenakan sanksi pidana.
“Dalam doktrin pemidanaan, pemidanaan merupakan solusi terakhir untuk menetapkan hukuman terakhir bagi masyarakat, bukan sedikit-dikit dipidana,” katanya.
Ini juga seolah bertolak belakang terhadap beberapa jenis tindak pidana terkait pelanggaran HAM berat, korupsi, narkotika, terorisme, dan pencucian uang yang justru mengalami pengurangan pemidanaan. Karena itu, Komnas HAM meminta agar pengesahan RKUHP ini ditunda dan dilakukan perbaikan terhadap pasal-pasal bermasalah.
“Kami tentu akan mengirimkan surat kepada DPR dan pemerintah karena banyak pasal-pasal yang memerlukan perbaikan,” ujarnya.