Laporan Harvard: 377 Ribu Warga Gaza “Dihilangkan”, Separuhnya Diduga Anak-Anak

Laporan Harvard: 377 Ribu Warga Gaza “Dihilangkan”, Separuhnya Diduga Anak-Anak

GAZA (jurnalislam.com)– Sebuah laporan terbaru yang dirilis melalui Harvard Dataverse pada Juni 2025 mengungkapkan temuan mencengangkan: sedikitnya 377.000 warga Gaza telah “dihilangkan” sejak agresi militer Israel dimulai pada Oktober 2023. Setengah dari jumlah tersebut diyakini merupakan anak-anak.

Laporan ini disusun oleh akademisi Israel, Profesor Yaakov Garb, yang menggunakan analisis data dan pemetaan spasial untuk meneliti dampak serangan Israel terhadap warga sipil serta penghalangan akses terhadap bantuan kemanusiaan.

Dalam laporannya, Garb menegaskan bahwa jumlah korban tewas kemungkinan jauh lebih besar dari angka resmi yang dirilis saat ini, yakni sekitar 61.000 jiwa.

𝗦𝗲𝗹𝗶𝘀𝗶𝗵 𝗣𝗼𝗽𝘂𝗹𝗮𝘀𝗶 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗸𝗵𝗮𝘄𝗮𝘁𝗶𝗿𝗸𝗮𝗻

Sebelum perang dimulai, populasi Gaza diperkirakan mencapai 2,227 juta jiwa. Namun, data pemetaan berdasarkan estimasi militer Israel menunjukkan populasi terkini hanya sekitar 1,85 juta jiwa. Rinciannya, sekitar 1 juta orang berada di Kota Gaza, 500.000 di kawasan Mawasi, dan 350.000 lainnya di Gaza tengah.

Perbedaan sekitar 377.000 jiwa tersebut memicu pertanyaan besar tentang keberadaan mereka. Meskipun sebagian mungkin mengungsi atau belum terdata, skala selisih ini mengarah pada kemungkinan besar bahwa banyak di antara mereka telah menjadi korban jiwa.

𝗗𝗶𝘀𝘁𝗿𝗶𝗯𝘂𝘀𝗶 𝗕𝗮𝗻𝘁𝘂𝗮𝗻 𝗗𝗶𝘄𝗮𝗿𝗻𝗮𝗶 𝗞𝗲𝗸𝗮𝗰𝗮𝘂𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗥𝗶𝘀𝗶𝗸𝗼

Laporan Garb juga menyoroti peran Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang didukung oleh Amerika Serikat. Menurutnya, struktur dan pengoperasian GHF lebih mencerminkan kepentingan militer Israel daripada kebutuhan kemanusiaan rakyat Gaza.

Dengan menganalisis lokasi distribusi bantuan, Garb menemukan bahwa sebagian besar penduduk Gaza tidak dapat mengakses pusat bantuan tersebut. Lokasinya berada dalam “zona penyangga” militer yang secara resmi dilarang dimasuki warga sipil. Mereka yang mencoba mendekat harus melintasi koridor Netzarim yang dikendalikan tentara Israel, dengan infrastruktur minim dan rute perjalanan berbahaya.

Desain kompleks bantuan ini juga dinilai membahayakan. Setiap titik distribusi hanya melayani sekitar 5,5 orang selama 3,5 hari. Hal ini memaksa warga untuk terus kembali ke zona militer berbahaya guna mendapatkan makanan atau kebutuhan pokok lainnya.

“Kompleks bantuan ini tampaknya justru dirancang untuk menciptakan kekacauan dan gesekan berkepanjangan,” tulis Garb dalam laporannya.

𝗧𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗣𝗲𝗿𝗹𝗶𝗻𝗱𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻, 𝗧𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗠𝗮𝗿𝘁𝗮𝗯𝗮𝘁

Laporan juga menyoroti kurangnya perlindungan terhadap warga sipil yang mengantre bantuan. Sebagian besar lokasi tidak memiliki tempat berteduh, air, toilet, fasilitas medis, atau akses khusus bagi kelompok rentan. Manajemen kerumunan juga tidak tersedia, sehingga kerusuhan dan kekacauan sering terjadi.

Garb menyimpulkan bahwa pusat-pusat distribusi ini tidak memenuhi prinsip dasar kemanusiaan. “Mereka mencerminkan logika kontrol, bukan bantuan. Menyebutnya sebagai pusat distribusi bantuan adalah hal yang menyesatkan,” tegasnya.

𝟰𝟱𝟬 𝗧𝗲𝘄𝗮𝘀 𝗦𝗮𝗮𝘁 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗸𝘀𝗲𝘀 𝗕𝗮𝗻𝘁𝘂𝗮𝗻

Laporan ini dirilis hanya beberapa hari sebelum Kementerian Kesehatan Gaza, pada Selasa (24 Juni 2025), mengumumkan bahwa sedikitnya 450 orang tewas dan sekitar 3.500 lainnya terluka sejak akhir Mei karena mencoba mengakses bantuan dari titik distribusi GHF.

Sebagian besar korban dilaporkan terkena serangan ketika berada di dekat atau dalam perjalanan menuju lokasi distribusi bantuan yang dikelola GHF. (Bahry)

Sumber: TNA

Bagikan