TEL AVIV (jurnalislam.com)– Keputusan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk terus melanjutkan perang di Gaza, alih-alih memprioritaskan pembebasan tawanan, memicu perpecahan dalam masyarakat dan militer Israel. Sejak keputusan sepihak untuk mengakhiri gencatan senjata pada Maret lalu, gelombang kritik datang dari berbagai pihak, termasuk keluarga sandera, mantan pejabat militer, dan elite pasukan keamanan.
Anggota angkatan udara, yang selama ini dikenal sebagai unit elit, dalam surat terbuka menyatakan perang ini “melayani kepentingan politik dan pribadi Netanyahu, bukan kepentingan keamanan.” Pernyataan serupa muncul dari anggota angkatan laut dan agen Mossad, menandakan semakin meluasnya ketidakpuasan di kalangan elite militer.
Kolonel Seth Krummrich, mantan komandan Pasukan Khusus AS dari firma keamanan internasional Global Guardian memperingatkan,
“Saya tidak tahu apakah mereka mampu menduduki wilayah itu. Gaza akan menyerap banyak orang… itu bahkan sebelum Anda berpikir untuk menjaga Israel utara, menghadapi Iran atau menjaga jalan-jalan Israel.” katanya sebagaimana dilansir Al Jazeera (10/5/2025).
Ia menambahkan, “Ketika tentara tidak kembali ke rumah, atau tidak pergi, itu akan menghancurkan tatanan masyarakat Israel. Itu terjadi di setiap meja makan.”
Netanyahu dituding memperpanjang konflik demi mempertahankan kekuasaan dan menghindari konsekuensi hukum atas kasus korupsi yang menjeratnya. Koalisi pemerintahan sayap kanan yang ia pimpin juga menjadi tekanan tersendiri: setiap akhir perang tanpa “kemenangan total” dapat memicu jatuhnya pemerintahan.
Profesor Yossi Mekelberg dari Chatham House mengatakan, “Perpecahan dalam masyarakat Israel bukan hal baru, tapi perang dan konflik memperdalam perpecahan tersebut.”
Sumber: Al Jazeera