Imam di Tokyo : Tidak Ada Islamophobia di Jepang

ANKARA (Jurnalislam.com) – Hampir dua minggu setelah dua warga Jepang dieksekusi oleh Islamic State (IS), pejabat bidang agama di Jepang bekerja keras melawan prasangka negatif terhadap Muslim di negara itu.

Namun kebanyakan umat Islam setempat mengatakan bahwa mereka mengetahui bahwa kekerasan yang dilakukan IS itu hanya sedikit berpengaruh pada interpretasi warga Jepang terhadap keyakinan mereka. Mereka menyaksikan bahwa masyarakat di Jepang belum menunjukkan reaksi negatif. Reaksi tersebut didefinisikan oleh hubungan banyak negara Muslim sebelumnya yang dibentuk dengan kuat bersama Jepang setelah membantu pada saat bencana alam.

Imam Muhammed Rasit Alas mengatakan kepada The Anadolu Agency dalam sebuah wawancara telepon bahwa pembunuhan tampaknya tidak mengubah pandangan Jepang, meskipun ada pengaruh dari media Barat.

"Kami menerbitkan laporan yang diperlukan di website kami setelah serangan itu, dan khotbah Jumat kami secara khusus berjudul 'Tidak ada ruang bagi terorisme dalam Islam' dalam bahasa Turki, Inggris dan Jepang," katanya.

Dia menambahkan bahwa respon atas masalah tersebut selama ini sangat positif.

Alas adalah imam dari masjid terbesar di Jepang, Tokyo Camii. Terletak di distrik Oyama-cho, di Shibuya,Tokyo yang berdampingan dengan pusat budaya Turki.

Pengunjung ke masjid tidak berkurang sejak eksekusi kekerasan terhadap Haruna Yukawa dan Kenji Goto. Malah pada kenyataannya justru bertambah, kata Alas.

"Rata-rata kami memiliki 100 sampai 150 pengunjung per hari, tapi setelah insiden tragis tersebut jumlahnya telah meningkat."

Jepang – dengan populasi 127 juta jiwa – memiliki sekitar 100.000 Muslim, 10.000 di antaranya adalah penduduk asli Jepang.

Negara ini – yang didominasi Shinto, meskipun agama ini jarang diberitakan – memiliki sekitar 200 masjid, yang tertua adalah Tokyo Camii, yang dibangun dalam gaya Ottoman pada tahun 1931.

Sejak peristiwa tersebut, pemimpin agama dari semua agama di Jepang telah sering menggarisbawahi bahwa IS tidak ada hubungannya dengan Islam. Namun sejarah Jepang sangat terkait erat dengan Barat, sehingga dengan cepat kedua Negara tersebut terikat bersama dan menunjukkan bahwa umat Islam secara keseluruhan harus meminta maaf.

Shimoyama Abdulkerim Sigeru – seorang Muslim asal Jepang berusia 65 tahun yang tinggal di Tokyo – mengatakan kepada AA bahwa reformasi yang dilakukan selama era Kaisar Meiji 1868-1912, terlihat bahwa Jepang mengikuti masyarakat Barat dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan dan politik.

Dia memberi contoh konstitusi 1869, yang dipengaruhi oleh Jerman dan Perancis.

"Selama 150 tahun, warga Jepang telah menerima gambaran yang bias mengenai Islam yang ditunjukkan oleh negara-negara Barat," tambahnya.

Imam Ali dari masjid Tokyo Camii, tidak setuju dengannya, dan mengatakan kepada AA bahwa bahkan jika media Jepang telah dipengaruhi oleh media Barat, namun "tidak ada Islamophobia di sini."

"Saya belum menemukan reaksi negatif," katanya, menggambarkan hubungan bersama antara Jepang dan penghuni pusat budaya yang saling berdekatan itu.

"Orang-orang Jepang memiliki simpati untuk Turki, serta Turki memiliki simpati untuk Jepang. Hal ini memungkinkan penciptaan citra positif. "

Untuk menggambarkan hal itu, dia mengatakan bahwa dia sering berjalan di luar masjid kemudian dia maupun istrinya tidak pernah melihat hal buruk akibat pembunuhan IS.

Ikemato Eiko, 66 tahun, seorang ahli akupunktur yang berbasis di Tokyo, mengatakan kepada AA bahwa mengaitkan organisasi teroris dengan Muslim adalah "salah".

"Saya tidak percaya pada agama apapun, tapi aku tahu bahwa orang-orang yang melakukan hal-hal menyedihkan itu bukanlah Muslim … Muslim melakukan kegiatan yang baik," katanya, mengingat bagaimana beberapa negara Muslim telah membantu Jepang pulih dari gempa bumi.

"Kami tahu bahwa negara-negara Muslim membantu kami selama bencana, kami ingat," tambah Eiko.

Sigeru mengatakan kepada AA bahwa ia telah menerima permintaan wawancara berbagai media setelah peristiwa tersebut  untuk mengatakan "kebenaran Islam, dan bagaimana hal itu tidak ada hubungannya dengan IS."

"Tapi banyak orang Jepang – di bawah pengaruh media Barat – menjadi bingung terhadap hubungan Islam dengan terorisme, dan mengatakan bahwa 'itu adalah agama yang mengerikan'," tambah lelaki berusia 65 tahun tersebut.

"Saya telah mengatakan kepada mereka, 'Tolong jangan salahkan Islam. Islam melarang kekerasan dan terorisme."

Ia mengatakan kekhawatirannya bahwa Islamophobia akan muncul di negaranya melalui pengaruh Barat, dan mengatakan bahwa praktek seperti itu gagal "untuk menjelaskan mengapa insiden tersebut terjadi, apa itu Islam, dan latar belakang setiap kejadian."

Dia menggarisbawahi bahwa setelah serangan 9/11, orang Jepang telah mulai melihat Islam sebagai gambaran terorisme.

"Kita harus memberi tahu Jepang tahu pesan yang sebenarnya," katanya.

Pada 31 Januari, IS, kelompok militan multinasional yang menguasai sebagian wilayah  Irak dan Suriah, menerbitkan video di mana salah satu militan mereka terlihat memenggal kepala wartawan Jepang, Goto.

Wartawan berusia 47 tahun itu ditangkap oleh IS pada akhir Oktober setelah diduga melakukan perjalanan ke Suriah untuk mencari dan meminta pembebasan Yukawa, seorang pengusaha Jepang yang dilaporkan diculik pada bulan Agustus dan dibunuh awal Januari.

 

Deddy | Anadolu Agency | Jurniscom

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.