Hikmah Mengislamkan Nusantara

PEMERINTAHAN Jokowi banyak bikin gebrakan yang memancing kontroversi. Salah satunya melalui menteri agama yang menggagas pelaksanaan peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad Saw di Istana Negara. Acara itu ditayangkan live TVRI dengan menampilkan pembacaan tilawatul Qur'an dengan langgam jawa. Saat pembawa acara sebelum mempersilahkan qori' tampil di depan menyampaikan bahwasannya pembacaan ayat suci Al-Qur'an menggunakan langgam jawa bermaksud untuk mengangkat Islam nusantara, yang memadukan kekayaan budaya nusantara dengan Islam. Walaupun inisiator semua ini adalah menteri agama, namun Jokowi selaku presiden juga patut bertanggungjawab. Pasalnya, semua kegiatan kenegaraan pasti dikonsultasikan terlebih dahulu dengan presiden.

Sontak kejadian tersebut menuai protes dari para ulama, karena tindakan tersebut merupakan hal yang konyol. Selain bertententangan secara syariat, hal itu juga menodai kesucian firman Allah Swt. Sementara itu, bagi kelompok pengusung Islam liberal (JIL) dengan berbagai argumentasi khas liberalnya mendukung tindakan menteri agama. Tokoh-tokoh liberal merasa mendapat angin segar terhadap sikap menteri agama yang bermaksud untuk menusantarakan Islam. Artinya, menampilkan wajah Islam yang khas nusantara dengan mengolaborasikan antara Islam dengan budaya lokal yang kaya budaya.

Hal itu klop dengan wacana Islam yang selama ini diusung oleh tokoh liberal. Sebenarnya gagasan nyeleneh ini bukti kekalahan intelektual umat Islam terhadap serbuan pemikiran barat yang sengaja menciptakan desain Islam dalam rupa yang seram dan menakutkan. Sebagaimana ungkapan akrab kita dengar bahwa Islam Indonesia beda dengan Islam Arab Saudi atau Islam Timur Tengah yang dicitrakan negatif serta memiliki akar rumput budaya yang berbeda. Masih menurut mereka, Islam Indonesia itu moderat, Islam rahmatan lil alamin.

Akibat masifnya opini penegakan Syariah sebagai solusi atas segala persoalan kehidupan, membuat gerah kelompok JIL. Sebelumnya, di awal tahun 2000-an pemikiran liberal cukup menjamur setelah beberapa tahun terakhir semakin surut dan kandas akibat dihentikannya kucuran dana asing dan ditinggal pentolannya ke Partai Demokrat (Sumber: makalah Fadh ahmad Arifan, “Jaringan Islam Liberal, Riwayatmu Kini”, hal 7). Bak jamur, embrio-embrio kelompok liberal masih banyak bertebaran di IAIN/UIN dan merasuk ke pesantren, namun belum menemukan kondisi yang optimal untuk tumbuh lagi.

Di era pemerintahan Jokowi yang makin tak jelas arahnya, mengibaskan angin segar bagi tumbuhnya pemikiran liberal. Buktikan saja publik akan disuguhi ide-ide nyeleneh yang mengawinkan Islam dengan tradisi lokal atas nama Islam nusantara agar terkesan lebih soft dan dapat diterima oleh masyarakat. Demi menjustifikasi hal tersebut mereka rela menyeret nama-nama tokoh liberal yang memiliki posisi dan nama beken. Dari karakternya, mereka serta merta tanpa ragu menggugat keontetikan sumber Islam dan mengobok-obok penafsiran Al-Qur'an sesuai dengan nafsunya.

Mengislamkan Nusantara
Apa yang dilakukan oleh pengusung jargon “Islam nusantara” justru bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh para wali songo. Para wali berdakwah di tanah Jawa khususnya untuk mengislamkan tata nilai budaya nusantara yang kental dengan kesyirikan pengaruh budaya Hindu (Lihat buku Prof Hasanu simon, “Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa”, 2004). Mereka para wali songo yang notabene utusan khalifah memang diutus untuk merubah tata kehidupan nusantara dengan Islam. Perubahan yang dilakukan dengan perubahan mendasar. Pertama, para wali mengenalkan tauhid kepada masyarakat. Selanjutnya bertahap pada penghapusan tradisi kufur yang bertentangan dengan Islam. Hal itu mereka lakukan sejalan dengan posisi yang mereka duduki sebagai sultan. Kepemimpinan politik di tangan mereka memuluskan upaya mengislamkan nusantara. Hasilnya kita bisa rasakan sekarang ini, nusantara dihuni oleh mayoritas Islam.

Sehingga aneh, dengan apa yang diusung oleh para Gusdurian dan JIL. Ingin menjinakkan Islam dengan budaya lokal. Islam nusantara adalah kedok semata sebagai upaya memisahkan kultur Islam yang kuat di nusantara atas nama Islam moderat ataupun Islam yang ramah. Kita perlu waspada motif dan siapa dalang di balik mereka itu. Dalang di belakang layar pengusung ide nyeleneh ini adalah kelompok liberal yang disokong oleh negara pendonor dari Asing. Proyek-proyek liberalisasi di Indonesia tak bisa lepas dari motivasi sekulerisasi dan dibiayai oleh pihak Asing pula. Ini strategi lama dengan baju baru.

Penutup
Nusantara sedang menangis akibat kepemimpinan yang lemah dan tanpa arah yang jelas. Kepedihannya menjalar ke seluruh tubuh nusantara yang indah ini. Jangan sakiti nusantara dengan liberalisme. Pada akhirnya apa yang dilakukan oleh kelompok liberal kembali menuai kegagalan. Umat Islam semakin cerdas, seiring dengan masifnya kampanye penyadaran terhadap syariah oleh beberapa gerakan Islam. Sebenarnya dengan mengislamkan nusantara, masyarakat akan dapat memetik kerahmatan dan kemuliaan. Inilah visi utama Islam diturunkan kepada seluruh umat manusia tidak mengenal potongan geografis negara. Islam diturunkan untuk mencelup manusia dengan celupan Islam setelah sebelumnya tercelup oleh kekufuran. Islam lebih dari budaya, tetapi budayalah yang harus diislamkan. []

Penulis adalah alumnus Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.