JAKARTA(Jurnalislam.com)— Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI, Habib Nabiel Al-Musawa menyampaikan bahwa Islam wasathiyah menjadi resep memakmurkan negeri. Sebab, kata dia, Islam wasathiyah menghilangkan sifat egois dalam menjalankan agama.
Menurutnya, posisi Islam wasathiyah yang di tengah, tidak ekstrem kiri atau ekstrem kanan, membuatnya terbebas dari egoisme sempit kelompok. Egoisme sempit inilah yang menurutnya kerap menjadi sumber malapetaka dan pertikaian terutama di banyak negara.
“Dakwah Islam Wasathiyah dapat membangun negeri yang baldatun toyyibatun wa robbun ghofur karena hilangnya sifat egois, ” ujar Pimpinan Majelis Rasulullah ini di hadapan peserta Standardidasi Da’i MUI ke-17 di Wisma Mandiri, Jakarta, Senin (31/10).
Dikatakannya, corak Islam Wasathiyah menjadikan seorang dai menempatkan sebuah perkara secara proporsional. Mereka mampu menempatkan mana yang masalah ushul dan mana masalah furu’.
“Sebagai dai, maka bisa memahami mana yang ushul dan mana yang furu’ sehingga tidak mudah terpecah belah, ” ujarnya.
Dia mengatakan, Islam wasathiyah memiliki sepuluh karakteristik seperti
Tawasuth (mengambil jalan tengah), Tawazun (berkeseimbangan), I’tidal (Lurus dan Tegas), Tasamuh (toleransi), dan Musawah (tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi).
Prinsip Islam wasathiyah yang lain adalah Syura’ (musyarawah), Ishlah (reformasi), Awlawiyah (mendahulukan yang prioritas), Tathawwur (dinamis, kreatif, inovatif), dan Tahaddhur (berkeadaban).
Selain itu, imbuh Habib Nabiel, seorang da’i dan da’iyah selayaknya berdakwah dengan kaidah qoulan layyina, qoulan maisyuro, dan qoulan baligho. Hal ini sejalan dengan teguran Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dalam surat Ali Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Habib Nabiel melanjutkan, dakwah juga perlu menyesuaikan dengan kode etik yang ada. Kode etik itu seperti menyatukan ucapan dengan perbuatan, tidak mencampurkan akidah dengan ibadah agama lain, tidak menghina sesembahan non muslim, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui atau dikuasai, dan tidak meminta atau menetapkan imbalan.
“Seorang da’i dan da’iyah perlu merujuk pada keputusan-keputusan lembaga keagamaan yang mut’tabarah misalnya fatwa-fatwa MUI, ” ungkapnya. (mui)