DARFUR (jurnalislam.com)— Krisis kemanusiaan di Darfur, Sudan, mencapai titik paling kelam setelah lebih dari dua tahun perang antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Minimnya sumber daya membuat para pekerja kemanusiaan harus menghadapi dilema yang disebut “tidak manusiawi”.
“Kami terpaksa memilih siapa yang akan kami selamatkan dan siapa yang tidak,” ujar Jerome Bertrand, kepala logistik Handicap International, kepada AFP pada Rabu (19/11), usai misi penilaian logistik selama tiga pekan di Darfur.
“Ini sepenuhnya bertentangan dengan nilai-nilai kami sebagai pekerja kemanusiaan.” imbuhnya.
Bertrand menyampaikan bahwa tim bantuan kini memprioritaskan anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui, “dengan harapan yang lain dapat bertahan.”
𝗞𝗲𝗹𝗮𝗽𝗮𝗿𝗮𝗻, 𝗣𝗲𝗻𝗴𝘂𝗻𝗴𝘀𝗶𝗮𝗻 𝗠𝗮𝘀𝘀𝗮𝗹, 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗔𝗸𝗵𝗶𝗿
Sejak konflik pecah pada April 2023, puluhan ribu orang tewas dan hampir 12 juta warga Sudan mengungsi, menjadikannya salah satu krisis pengungsian dan kelaparan terbesar di dunia menurut PBB.
Situasi memburuk drastis setelah RSF merebut Al-Fasher, ibu kota Darfur Utara sekaligus benteng terakhir militer, pada 26 Oktober. Laporan terbaru Inisiatif IPC yang didukung PBB menegaskan bahwa Al-Fasher kini berada dalam kondisi kelaparan, yang sudah menghantam kamp-kamp pengungsian selama lebih dari setahun.
Namun upaya bantuan terhambat oleh hancurnya infrastruktur, tidak adanya bandara yang berfungsi, jalan yang tidak bisa dilalui, serta hambatan administratif di perbatasan Chad — satu-satunya jalur akses masuk bantuan. Selain itu, pendanaan internasional yang minim membuat situasi semakin memburuk.
Bertrand menggambarkan keadaan Darfur sebagai wilayah seluas Prancis dengan 11 juta penduduk, namun pasokan bantuan masih sangat minim. Ia menyebut kondisi di lapangan sebagai “keadaan anarki” dengan keruntuhan total struktur pemerintahan, maraknya perampokan, pemerasan, serta ancaman di sepanjang jalan raya.
Di kota pengungsian Tawila, yang kini menampung lebih dari 650.000 pengungsi, Bertrand bertemu warga yang “benar-benar tidak memiliki apa-apa lagi”, sementara organisasi bantuan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar.
Ia menambahkan bahwa penangguhan sebagian bantuan AS menyebabkan hilangnya 70 persen bantuan ke Darfur, membuat hanya “seperempat kebutuhan” yang bisa dipenuhi.
Bertrand juga menggambarkan sekitar 80.000 warga terlantar di sepanjang jalan-jalan Darfur, banyak di antaranya menjadi korban pemerasan, penyerangan, penyiksaan, hingga luka tembak.
“Mereka yang berhasil mencapai Tawila sering menunjukkan tanda-tanda kekurangan gizi berat, luka akibat penyiksaan, atau tembakan,” ujarnya.
“𝗗𝗶𝗯𝗶𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗦𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗠𝗲𝗺𝗯𝘂𝗻𝘂𝗵”
Menurut Bertrand, Darfur kini mencerminkan kondisi sebuah negara yang “sedang membusuk” dan menuduh komunitas internasional membiarkan kelompok-kelompok bersenjata “saling membunuh tanpa intervensi.”
“Di era yang berbeda,” katanya,
“PBB pasti sudah mengeluarkan resolusi untuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaian.”
Krisis Darfur kini terus memburuk, dengan jutaan nyawa terjebak dalam kelaparan, kekerasan, dan ketidakpastian tanpa tanda-tanda bahwa dunia akan segera bertindak. (Bahry)
Sumber: TNA