Revisi UU KPK, Sebuah Kemenangan Besar Bagi Oligarki

Oleh: Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

RUU sudah jadi UU. DPR sudah ketuk palu. Tok! Tok atau tuk? Sama aja. Yang pasti, revisi UU KPK No 30/2002 sudah disahkan.

Terkait revisi UU KPK, muncul dua kubu. Kubu pemerintah-DPR vs kubu Rakyat. Suara rakyat setidaknya diwakili lima pihak. Pertama, akademisi. Para dosen protes jauh-jauh hari sebelum RUU itu disahkan oleh DPR. Tapi gak digubris. Telinga pemerintah dan DPR sepertinya tak cukup ruang untuk mendengarkan.

Ketika DPR nekat mengesahkan hasil revisi UU KPK, giliran mahasiswa yang protes. Jika dosen protes melalui media, maka para mahasiswa turun ke jalan. Jumlahnya ribuan. Sejumlah ruang kuliah kabarnya kosong karena mahasiswa pindah belajar di jalanan. Demo marak di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun Luar Jawa. Terutama di depan gedung DPR Senayan. Kok gak di depan istana? Tanyakan saja sama mahasiswa.

Kedua, suara rakyat diwakili juga oleh KPK. Sejumlah pimpinan KPK merasa tidak diajak bicara. Mereka keberatan dengan revisi UU No 30/2019 itu. Tapi, keluhan pimpinan KPK pun terabaikan. Da…da…

Ketiga, NGO yang suara lantangnya diwakili ICW juga protes. Eh, ICW malah dituduh dapat bantuan dari KPK. Dan suara ICW pun lewat begitu saja. Seperti angin lalu. Ada seperti tiada.

Keempat, media mulai bersuara. Keluar dari tapa bratanya selama ini. Tempo dan Gatra mulai galak ketika menulis berita tentang revisi UU. Tampak kritis kepada pemerintah. Malah ada gambar Pinokio segala. Begitu juga dengan kompas. Sudah mulai menengah. Meski kelihatan masih malu-malu.

Kelima, Nitizen. Jagat medsos ramai komentar, bahkan kecaman terhadap revisi UU KPK. Siapapun yang mengusik KPK dianggap common enemy, atau musuh bersama. Dan nasib itu sekarang menimpa pemerintah dan DPR.

Bagi pemerintah dan DPR, revisi UU KPK itu untuk memperkuat, bukan melemahkan. Setidaknya ini yang diakatakan Moeldoko, ketua staf kepresidenan. Tapi, disisi lain Moeldoko juga mengatakan bahwa gak boleh di negara ini ada yang terlalu kuat. Ini bahaya. Kehadiran KPK bisa menghambat investasi. Lah, kok paradoks? Katanya memperkuat, kok bilang terlalu kuat, bahaya dan bisa menghambat investasi. Jika kutipan pendapat Moeldoko oleh salah satu media online (cnbcindonesia.com) itu benar, kita terpaksa geleng-geleng dan garuk-garuk kepala.

Disisi lain, rakyat mengatakan bahwa revisi UU KPK itu memperlemah, mengamputasi, bahkan membunuh, lalu menguburkan KPK. Rakyat yang mana? Wualaaah bapak… Di atas sudah dijelasin siapa aja yang merepresentasikan suara rakyat. Yang pasti bukan anak-anak tanggung yang dikasih 35 k (Rp. 35.000) untuk berangkat demo. Itu mah pasukan nasi bungkus pak.

Lalu, mana yang benar: pemerintah dan DPR, atau Rakyat? Ini harus dibedah. Analisisnya mesti terukur.

Pertama, kita lihat subsatansi hasil revisi UU KPK. Terutama pasal 1, 12, 37 dan 40. Pasal 1 merubah pegawai tetap KPK yang semula independen menjadi ASN (Aparat Sipil Negara). Standar kerja, arah loyalitas dan independensi antara pegawai KPK dengan ASN tentu beda. Kalau jadi ASN, kira-kira memperkuat atau memperlemah? Silahkan anda yang waras menjawab.

Pasal 12 soal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Ada 13 kewenangan KPK yang hilang. 4 di penyelidikan, 1 di penyidikan dan 8 di penuntutan. KPK tak lagi bisa merekam pembicaraan, tak bisa minta instansi terkait melakukan pencekalan, tak bisa minta keterangan dari pihak bank, tak bisa minta bank melakukan blokir dan menghentikan transaksi. KPK juga tak bisa minta interpol melakukan pengejaran dan penangkapan tersangka yang ada di luar negeru. Juga tak bisa minta pihak kepolisian untuk membantu tugas KPK melakukan penangkapan. Kira-kira ini memperkuat atau memperlemah?

Pasal 37, dalam melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan, KPK harus minta ijin kepada Dewan Pengawas. Ini Dewan Pengawas atau Dewan Perijinan? “Ijin pak, mau nyadap si anu”. Tak menutup kemungkinan nantinya DP juga minta ijin si anu. “Si anu, ijin, kami mau nyadap anda.” Jadi lucu-lucuan. Silahkan anda analisis: ini memperkuat atau memperlemah KPK?

Hadirnya Dewan Pengawas di KPK akan melahirkan dua matahari kembar. Kedepan, besar kemungkinan antara Dewan Pengawas dan pimpinan KPK terjadi persaingan dalam mengambil keputusan.

Pasal 40, KPK berwenang menerbitkan SP3. Dalam waktu setahun belum ada keputusan atau ekskusi terhadap suatu kasus, Dewan Pengawas berhak intervensi. Kenapa gak diserahin aja kepemimpinan KPK kepada Dewan Pengawas? Double position dan double salary. Kok putus asa? Bukan! Ini membela Dewan Pengawas. Siapa tahu ada yang netes. Tes…tes…tes…

Kedua, kita lihat dalam proses RUU jadi UU. Cuma butuh waktu 13 hari. Presiden hanya butuh waktu tiga hari. Kesempatan 30 hari hanya digunakan tiga hari? Hebat bukan? Super cepat. Sementara sejumlah RUU yang sudah lama dibahas justru belum disahkan. Emang revisi UU KPK urgen? Barangkali sangat urgen. Karena DPR periode 2014-2019 mau berakhir. Disisi lain pimpinan KPK-nya akan baru lagi. Banyak yang mau pensiun. Mosok urgen kok argumentasinya seperti itu. Kalau begitu, apa alasan yang kira-kira ilmiah? Serahkan saja sama pemerintah dan DPR.

Ketiga, ini terkait dengan pimpinan KPK. Periode 2019-2023 yang terpilih jadi ketua KPK adalah Firli Bahuri. Bagaimana track recordnya? Di kepolisian bagus. Kalau gak bagus gak mungkin jadi Kapolda Sumsel.

Bagaimana Firli di mata KPK sendiri? Mengingat ia adalah mantan deputi penindakan di KPK. Sayangnya, di mata para pimpinan KPK, bahkan juga penasehat dan para pegawai KPK, Firli dianggap punya catatan kurang baik. Ada tuduhan bahwa Firly telah melakukan pelanggaran etik yang sangat berat. Kabarnya, belum tuntas kasusnya, Firli ditarik dari insttitusinya dan dipromosikan menjadi Kapolda Sumsel. Ini jadi tantangan buat Firli.

Apakah tiga faktor di atas bisa dijadikan bukti bahwa pemerintah-DPR itu memperkuat KPK? Atau malah memperlemah KPK? Rakyat yang bisa menilai.

Demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang terjadi beberapa hari terakhir ini adalah bagian dari hasil penilaian rakyat terhadap revisi UU KPK. Paham ente?

Dengan adanya protes para akademisi, KPK, ICW, media, netizen, dan terakhir adalah demonstrasi besar-besaran mahasiswa menunjukan bahwa rakyat tak ingin KPK lemah. Lemahnya KPK akan mendorong Indonesia terperangkap kembali ke tangan-tangan oligarki. Suksesnya revisi UU KPK dianggap sebagai kemenangan pihak oligarki. Karena itu, para mahasiswa turun ke jalan. Tujuannya? Ingin merebut kembali kemenangan itu dari oligarki

Jakarta, 24/9/2019

Islam Menyelesaikan Persoalan Kabut Asap

Oleh: Hardita Amalia, S.Pd.I., M.Pd.I
Penulis Buku Anak Muda Keren Akhir Zaman Qibla Gramedia, Peneliti dan Anggota Adpiks, Pemerhati Pendidikan, Konsultan Parenting, Founder Sekolah Ibu Pembelajar

Kebakaran hutan dan lahan di beberapa titik wilayah di Sumatera dan Kalimantan menyebabkan bencana kabut asap yang tidak hanya aktifitas harian masyarakat yang terganggu,namun lebih dari itu, kesehatan juga nyawa masyarakat terancam.

Mengutip Liputan6.com (17/09/2019 ) Seorang bayi berusia empat bulan meninggal dunia diduga akibat terpapar kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.

Penulis mengutip pernyataan Kepala LP3E Wilayah Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Amral Fery mengatakan, tolak ukur kualitas udara itu berdasarkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Amral menjelaskan, ke enam daerah dengan udara berbahaya untuk dihirup itu antara lain Kota Pekanbaru, Rokan Hilir, Dumai dan Siak. Sedangkan dua daerah lain yang dinyatakan tidak sehat yaitu Bengkalis dan Kampar.

Pemerintah Kurang Bertanggung Jawab Dalam Menyelesaikan Persoalan Bencana Kabut Asap

Ironis, ketika kabut asap semakin mengancam kesehatan juga jiwa masyarakat,realitasnya pemerintah kurang bertanggung jawab untuk segera menyelesaikan bencana kabut asap yang melanda beberapa titik pulau Sumatera dan Kalimantan.

Mengutip kompas.com (16/09/2019 ) Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut pemerintah Indonesia telah mencontohkan korporasi untuk melakukan praktik impunitas atau kebal hukum terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Hal itu menyusul langkah pemerintah untuk peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat lain, yang menjadi pihak tergugat dalam kasus kebakaran hutan di Kalimantan.

Menurut Dewan Eksekutif Nasional Walhi, Khalisah Khalid, dalam konferensi persnya di kantor Walhi Korporasi enggan bertanggung jawab akan pelanggaran hukumnya karena mereka mencontoh pemerintah Indonesia yang melakukan PK terkait karhtula di Kalimantan tahun 2015.

Mengutip liputan6.com ( 17/09/2019 ) Pernyataan Wiranto, pengentasan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (pemda). Mulai dari tingkat kepala desa, camat, bupati atau wali kota, hingga gubernur.

Menurut Wiranto, pemerintah pusat hanya berlaku sebagai koordinator. Oleh karena itu, pemda diharapkan bisa mandiri dalam menghadapi permasalahan yang sama setiap tahunnya.

Senada dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi),Menurut penulis, pernyataan Wiranto memperlihatkan kurang bertanggung jawabnya pemerintah pusat dalam menyelesaikan Bencana Kabut Asap.

Menurut penulis, pemerintah pusat, abai mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan, karhutla hingga menyebabkan bencana kabut asap yang mengancam kesehatan masyarakat hingga menimbulkan korban jiwa.

 Islam Menyelesaikan Persoalan Kabut Asap

Islam adalah dien yang paripurna menyelesaikan problematika umat manusia termasuk dalam menyelesaikan problem karhutla dan bencana kabut asap. Dalam Islam, hutan adalah bagian kekayaan alam yang tidak boleh dikuasai oleh korporasi.

Namun berbeda halnya dalam sistem kapitalis, dimana hutan dapat dikuasai oleh korporat, para kapitalis. Hingga penebangan hutan,pembakaran hutan tidak dapat dihindarkan demi mendapatkan keuntungan besar.

“Al-muslimûna syurakâun fî tsalâtsin: fî al-kalâi wa al-mâ`i wa an-nâri”
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Para ulama terdahulu sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama, dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang atau hanya sekelompok orang. Dengan demikian, berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadis di atas bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas), dan jika tidak ada, maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya.

Dari hadist ini jelas, bagaimana Islam melarang adanya penguasaan lahan hutan oleh korporat. Hutan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, beberapa individu, ataupun negara sekalipun. Individu, sekelompok individu atau negara tidak boleh menghalangi individu atau masyarakat umum memanfaatkannya, sebab hutan adalah milik mereka secara berserikat. Namun, agar semua bisa mengakses dan mendapatkan manfaat dari hutan, negara mewakili masyarakat mengatur pemanfaatannya, sehingga semua masyarakat bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari hutan.

Dengan paradigma tersebut, maka kasus pembakaran hutan dan lahan secara liar akan lebih dapat diminimalisir bahkan bisa ‘nol’ karena masyarakat juga menyadari bahwa hutan adalah milik umum yang harus kita jaga kelestariannya. Selain itu, Islam punya sistem peradilan yang akuntabel menyelesaikan persoalan yang dapat membahayakan rakyat, seperti karhutla.

Tidak hanya itu dalam  Islam ada  sistem peradilan Islam, yakni ada Qadhi Hisbah yaitu hakim yang menangani penyelesaian dalam masalah penyimpangan (mukhalafat) yang dapat membahayakan hak-hak rakyat seperti gangguan terhadap lingkungan hidup (contoh: karhutla). Vonis dapat dijatuhkan kepada pembakar hutan dan lahan di tempat kejadian perkara. Sehingga bila Islam ditegakkan maka tidak ada kondisi krusial bencana darurat asap yang saat ini terjadi yang mengancam jiwa manusia.

Masih Bermasalah, Komnas HAM Minta Pengesahan RKUHP Ditunda

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) versi 15 September 2019 masih menyisakan banyak persoalan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat beberapa masalah.

Di antaranya, tindak pidana pelanggaran berat, catatan kritis terhadap pemidanaan, mempertanyakan frasa yang menimbulkan ketidakpastian hukum serta penerapan fungsi hukum pidana ‘ultimum remidium’ yang kurang tepat.

“Kami menilai RKUHP melihat paradigma pelanggaran HAM berat memiliki sesuatu yang berbeda dengan hukum internasional,” kata Komisioner Komnas HAM, Chairul Anam di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (19/9/2019).

Karena itu, Komnas HAM mendorong pemerintah dan DPR menunda pengesahan RKUHP ini dan dilakukan perbaikan terhadap pasal-pasal bermasalah. Sehingga penegakan hukum dapat mengurangi angka pelanggaran.

Seperti pada pasal 599 KUHP, menurutnya, ada kesalahan mendasar di mana setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum akan dihukum. Sedangkan dalam hukum internasional adalah setiap tindakan, bukan setiap orang.

“Kalau dalam situasi perang, ada pasukan pemerintah ada pasukan pemberontak, karena paradigma setiap orang tidak bisa disamakan dengan kejahatan biasa karena harus ada pertanggungjawaban dari pembuat kebijakan,” ujarnya.

Ia juga menilai dalam beberapa konteks, RKUHP belum bisa memberikan kepastian hukum karena ada frasa yang menimbulkan multitafsir. Menurutnya, frasa itu tidak memberikan kepastian hukum seperti frasa “menimbulkan kegaduhan” dan “dalam living law”.

“Seperti ada orang yang mengeluh karena kesulitan hidup dan menjadi gelandangan bisa kena pidana, ini tentu menurut kami tidak tepat karena negara telah mengatur orang yang terlantar atau fakir miskin menjadi tanggung jawab konstitusi,” paparnya.

Selain itu, penerapan fungsi hukum pidana ultimum remidium dalam RKUHP masih kurang tepat dalam beberapa pasal. Menurut Chairul, banyak persoalan sosial yang seharusnya dapat menggunakan penghukuman lain yang mampu menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat justru dikenakan sanksi pidana.

“Dalam doktrin pemidanaan, pemidanaan merupakan solusi terakhir untuk menetapkan hukuman terakhir bagi masyarakat, bukan sedikit-dikit dipidana,” katanya.

Ini juga seolah bertolak belakang terhadap beberapa jenis tindak pidana terkait pelanggaran HAM berat, korupsi, narkotika, terorisme, dan pencucian uang yang justru mengalami pengurangan pemidanaan. Karena itu, Komnas HAM meminta agar pengesahan RKUHP ini ditunda dan dilakukan perbaikan terhadap pasal-pasal bermasalah.

“Kami tentu akan mengirimkan surat kepada DPR dan pemerintah karena banyak pasal-pasal yang memerlukan perbaikan,” ujarnya.

Mengaku Kecewa, Wagub Jabar Minta Film ‘The Santri’ TIdak Ditayangkan

BANDUNG (Jurnalislam.com) – Wakil Gubernur Jawa Barat (Jabar) Uu Ruzhanul Ulum mengaku kecewa dengan film ‘The Santri’ yang disutradarai Livi Zheng dan Ken Zheng. Menurut dia, banyak detail dalam film tersebut yang tidak sesuai dengan kehidupan nyata seorang santri.

“Penggambarannya beberapa mendiskreditkan,” ujar Uu kepada wartawan setelah menonton trailer film ‘The Santri’, Senin (16/9/2019).

Uu menegaskan bahwa santri berbeda dengan pelajar pada umumnya. Oleh karena itu, ia berharap agar film ‘The Santri’ tidak ditayangkan.

“Sekalipun saya juga belum bisa melaksanakan kewajiban dan keharusan sebagai seorang santri, tapi kalau santri gambaranya seperti yang trailer film ‘The Santri’, saya tidak setuju,” ungkap Uu.

Uu yang juga cucu dari pendiri Ponpes Miftahul Huda Tasikmalaya, KH Khoer Affandi ini mengaku tersinggung dengan film tersebut. Uu menegaskan, film itu bisa menjadi berbahaya karena sebuah tontonan seringkali dijadikan tuntunan oleh penontonnya.

“Kami khawatir dengan adanya film ini akan menghilangkan muru’ah nya seorang santri,” jelas Uu.

Sebelumnya, pada Senin (9/9/2019) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara resmi meluncurkan trailer film ‘The Santri’.

Film tersebut diperankan Gus Azmi, Veve Zulfikar, Wirda Mansur dan Emil Dardak. Menurut Livi Zheng, syuting akan berlangsung di Indonesia dan Amerika Serikat mulai Oktober mendatang. Film diprediksi tayang pada April 2020.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj mengatakan, ‘The Santri’ bisa menjadi media dakwah dalam konteks pendidikan, budaya, dan akhlak sekaligus sarana memperkuat, memperkokoh Islam di Nusantara.

“Ciri khas Islam Nusantara, Islam yang harmonis dengan budaya, kecuali budaya yang bertentangan dengan syariat. Melalui film ini kita dakwahkan Islam yang santun, menjadikan Indonesia kiblat peradaban bukan kiblat solat ya,” tutur dia.

Majelis Ormas Islam Minta Perbuatan Cabul Dimasukkan ke RUU KUHP

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Majelis Ormas Islam (MOI) meminta semua jenis perbuatan cabul dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Meski suka sama suka, pelaku pencabulan diminta masuk kategori hukum pidana.

“Perbuatan cabul antara manusia yang berlawanan jenis maupun yang sesama jenis adalah tindakan pidana,” kata Wakil Ketua Presidium MOI, Nazar Haris di gedung Dewan Dakwah, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).

Nazar menilai, meskipun dilakukan tidak di depan umum (ruang tertutup) dan tidak secara paksa, perbuatan tersebut tetap harus dikategorikan sebagai delik pidana. Pun jika tidak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

“Meskipun korban melakukannya dengan sukarela,” tegasnya.

Dia menyatakan, perilaku memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut adalah tindakan pidana meskipun tanpa kekerasan dan tanpa ancaman kekerasan.

Selain itu, perbuatan persetubuhan antara dua manusia yang diketahui masyarakat harus dapat dilaporkan oleh masyarakat dan atau Ketua RT/RW, selain orang tua, anak, suami atau istrinya.

“Kegiatan pelacuran dan bentuk kekerasan seksual tetap masuk dalam tindak pidana meskipun tidak dilakukan dengan paksaan,” ujarnya.

Negara, ujarnya, harus membangun lembaga rehabilitas terhadap penderita penyakit jiwa LGBT, sehingga dapat kembali normal dan produktif bagi bangsa dan negara.

“Negara juga harus menjaga umat Islam dari pengaruh aliran-aliran sesat sesuai keputusan MUI Pusat,” katanya.

DSKS Sebut Disertasi Abdul Aziz Menyimpang, IAIN Surakarta Didesak Bersikap Tegas

SUKOHARJO (Jurnalislam.com) – Paska munculnya disertasi milik Dosen Fakultas Syariah IAIN Surakarta Abdul Aziz yang menimbulkan polemik, Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) mendatangi kampus Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta pada Senin (9/9/2019). 

Disertasi berjudul “Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital” itu dinilai membolehkan seks di luar pernikahan.

Dalam silaturahim yang diterima langsung oleh Rektor IAIN Surakarta Prof. Dr. H. Mudofir itu, DSKS menyampaikan beberapa poin yang dipermasalahkan dalam disertasi tersebut.

Pertama, DSKS menilai Abdul Aziz salah dalam memahami makna budak di beberapa ayat Al-Qur’an. 

“Abdul Aziz memperluas makna budak dengan menjadi semua orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual,” kata Humas DSKS, Endro Sudarsono.

Kedua, pengambilan referensi bukan dari Ahli Agama (Ulama), mengingat Muhammad Syahrur berkompeten di bidang teknik.

Terakhir, disertasi tidak sesuai dengan UU perkawinan no 1 tahun 1974 4.  “Disertasi yang membolehkan kumpul kebo, mut’ah dan mengarah pada perzinahan,” ujarnya.

Oleh sebab itu, DSKS meminta Rektor IAIN Surakarta Prof. Dr. H. Mudofir untuk memberi sanksi tegas terhadap semua pihak di lingkungan IAIN Surakarta yang menyebaran pemahaman menyimpang dari ajaran Islam.

“Termasuk memberhentikan tidak hormat kepada Abdul Aziz atas disertasi yang telah dinyatakan menyimpang (Al-Afkar Al Munharifah) oleh MUI Pusat,” tegas Endro.

Menanggapi hal tersebut, Rektor IAIN Surakarta Prof. Dr. H. Mudofir mengatakan, pihaknya tidak memiliki kewenangan secara legal untuk memberhentikan karena itu adalah kewenangan Kementerian Agama.

“Jadi rektor tidak punya kewenangan untuk memecat, jadi jangan laporkan ke rektor, tapi langsung ke menteri agama,” katanya.

Kendati demikian, Prof Mudofir menegaskan disertasi Abdul Aziz tidak mewakili institusi IAIN Surakarta. “Dan tidak ada penyebaran ini secara sistemis, karena kami terikat dengan lembaga dakwah, jadi tidak ada di IAIN gerakan sistematis yang mengembangkan aliran sesat,” pungkasnya.

Pihak kampus juga telah memberikan teguran kepada Abdul Aziz untuk merevisi hasil disertasinya.

“Kita sudah memberikan surat teguran kepada yang bersangkutan untuk tidak berbicara dengan media, mematuhi revisi yang disarankan oleh tim penguji,” tandasnya.

Ribuan Penganut Ajaran Syiah Ikuti Peringatan Hari Asyura di Jakarta

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Ribuan penganut Syiah dari Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) dan Ahlul Bait Indonesia (ABI) memperingati hari Asyura di Indoor Tenis Senayan, Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2019).

Penganut Syiah memperingati Hari Asyura untuk mengungkapkan kesedihan mereka atas kematian cucu Rasulullah SAW, Sayyidina Husein dalam perang Karbala pada tahun 61 H.

Para peserta yang datang dari berbagai daerah ini berpakaian serba hitam dihiasi ikat kepala merah dan hijau bertuliskan mereka Labaika Ya Husein dalam bahasa Arab.

“Imam Husein bukan hanya milik orang Syiah, tapi milik alam semesta, dan kita punya tanggung jawab untuk menyebarkannya,” kata Habib Abdullah Ba’abud, salah seorang penceramah dalam acara itu.

Habib Abdullah Ba’abud mengatakan, segala kesedihan, ratapan, tangisan, dan air mata yang dipersembahkan untuk keluarga Nabi Muhammad bernilai pahala. Menurutnya, hal ini merupakan cara penganut Syiah dalam meneladani keluarga Nabi dalam keadaan apapun.

“Ketika manusia suci bersedih, ajak hati bersedih. Kalau mereka berperang kita berperang, kalau mereka berdamai, kita berdamai,” katanya.

Para jemaah pun tak henti melantunkan nyanyian-nyanyian ratapan sembari menepuk-nepuk dada dan kepala.

“Kami menangis dalam tangisanmu, Kami meratap dalam dukamu. Oohh…Duka Zahro…duka Zahro…Oohh…Zahro…Zahro…Zahro…Zahro,” ucap para jemaah.

Sementara itu, ratusan aparat kepolisian bersenjata laras panjang tampak berjaga di luar gedung untuk mengamankan jalannya acara.

Sebagaimana diketahui, ajaran Syiah merupakan salah satu ajaran yang telah digolongakan dalam ajaran sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. MUI sendiri telah mengeluarkan buku berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”. Kendati belum berupa fatwa, namun buku yang dirilis pada September 2013 ini merupakan keterangan resmi dari MUI Pusat mengenai kesesatan ajaran Syiah.

Imbauan Pemkot Makassar Soal Asyura Syiah: Tindak Tegas Aliran Menyimpang

MAKASSAR (Jurnalislam.com) – Pemerintah Kota Makassar mengeluarkan surat imbauan kepada masyarakat untuk mewaspadai penyebaran ajaran Syiah. Surat Imbauan bernomor 400/402/Kesra/IX/2019 tertanggal 9 September itu bertepatan dengan perayaan Hari Asyura yang dilakukan penganut Syiah di seluruh dunia pada tanggal 10 Muharram.

“Menghimbau kepada masyarakat untuk waspada agar tidak terpengaruh dengan faham dan ajaran Syiah (khususnya dalam memperingati Asyuro 10 Muharram 1441 H),” kata Sekretaris Daerah Kota Makassar, Ir. M. Ansar, M.SI.

Imbauan tersebut didasari oleh Surat Edaran Bapak Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor: 450/0224/B.Kesejahteraan, Tanggal 12 Januari 2017, Perihal Mewaspadai dan Mengantisipasi Penyebaran Syiah.

Menurut Ansar, paham Syiah berpeluang menimbulkan kereshan di tengah masyarakat yang dapat mengancam keutuhan NKRI. Oleh sebab itu, ia menegaskan untuk tidak memberi peluang bagi penyebaran tersebut.

“Agar bertindak tegas dalam menangani aliran menyimpang karena hal ini bukan termasuk kebebasan beragama tetapi penodaan agama,” tegasnya.

Sebagaimana diketahui, 10 Muharram merupakan salah satu hari besar bagi penganut Syiah. Peryaan tersebut dilakukan untuk memperingati kematian Sayyidina Husein, RA pada 10 Muharram 60 H di Karbala, Irak.

Di Indonesia sendiri, Syiah belum mendapat pengakuan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu mazhab dalam Islam. Bahkan, Fatwa MUI Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 menegaskan bahwa Syiah adalah ajaran sesat.

Lawan Diktatoriat Kampus Rezim Anti Islam

Lawan Diktatoriat Kampus Rezim Anti Islam
Upaya Pecah Belah Anak Negeri dengan Isu Radikalisme

 Oleh: Mashun Sofyan, S.Kom
Ketua BE BKLDK Nasional

Beberapa hari terakhir diberitakan bahwa ada seorang mahasiswa di Kampus IAIN Kendari, Hikma Sanggala dikeluarkan dari kampus IAIN Kendari karena tuduhan yang terkesan politis. Pengacara Hikma dari LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan mengatakan bahwa kliennya dikeluarkan karena dituding berafiliasi dengan aliran sesat dan paham radikalisme.

Isu radikalisme baru-baru ini di identikan seperti monster yang begitu menakutkan bagi rezim penguasa, hingga semua aparat pemerintahan dikerahkan untuk bisa membendung laju radikalisme dengan dalih menjaga stabilitas keamanan di negeri ini. Dunia kampus yang begitu menjunjung tinggi tradisi intelektual juga menjadi sasaran isu radikalisme. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial (medsos) warga kampus, mulai dari dosen, pegawai, hingga mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020, yang akan digunakan untuk mendeteksi keterkaitan dengan radikalisme dan intoleransi.

Di lain kesmpatan, Wakapolri Ari Dono juga membeberkan tantangan keamanan yang dihadapi Polri pada 2020. Salah satunya adalah penyebaran paham radikalisme dan intoleransi yang dinilai bakal semakin mengganggu stabilitas dan keamanan nasional. Wakapolri menjelaskan, kebutuhan anggaran Polri pada 2020 sebesar Rp111,42 triliun.

Isu radikalisme disinyalir oleh beberapa tokoh menjadi alat politik pecah belah anak negeri, lebih khsusus menjadi alat adu domba umat islam. Namun, sebenarnya apa makna kata radikalisme itu? Kata radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti “akar”, yang sebenarnya bermakna netral. Akan tetapi kata radikal selalu disematkan kepada umat islam yang lantang suarakan syariah dan tampil mengkritisi kebijakan dzolim pemerintah. Tuduhan radikalisme yang hanya berjalan pada tataran konsepsi dan ide saja sudah dimusuhi begitu rupa oleh pemerintah.

Selain itu kata radikalisme secara definisi pun masih belum disepakati oleh banyak pihak. Belum ada peraturan resmi dari pemerintah yang menyatakan radikalisme adalah tindakan melanggar hukum, bahkan di dunia Internasional pun tidak jauh berbeda. Istilah radikalisme dikonotasikan negatif dan dianggap sebagai common enemy.

Belum juga selesai dengan definisi, dicanangkanlah “proyek” deradikalisasi sehingga masuk dalam APBN dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah bekerja sama dengan lembaga non pemerintah, LSM, ormas dan lain-lain. Bahkan di tahun 2019, Anggaran BNPT mencapai Rp669 miliar.

Hari ini memang ada upaya ingin melekatkan makna radikalisme dengan kata terorisme. Mereka mengklaim bahwa aksi terorisme dilahirkan dari pemikiran radikal, sehingga radikalisme menjadi pintu masuk aksi terorisme. Tentu kesimpulan ini lahir dari kacamata kuda (subyektif tendensius). Radikalisme yang divonis sebagai akar terorisme, sementara pemerintah abai terhadap gejolak di masyarakat sebagai sebuah gejala sosial sebagai ekses dari meluasnya sikap apatisme dan frustasi sosial akibat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakpastian masa depan, dan tekanan hidup yang berat. Selain itu  kondisi termutakhir ini terkesan sangat korelatif dengan adanya imperialisme global yang makin menggurita, ditandai dengan peran dagang Amerika Serikat dan China secara global, termasuk di indonesia.   

Jika penguasa di negeri ini ingin menyelamatkan negeri dari kehancuran maka seharusnya pemerintah memfokuskan pembrangusan ide sekulerisme dan liberalisme, dimana ide sekuler liberal ini sudah praktis terejawantahkan dalam realitas kehidupan masyarakat hari ini. Ide ini sangat berbahaya karena sudah terbukti menghasilkan kerusakan dalam segala sendi kehidupan masyarakat, termasuk di Indonesia. Langkah strategis tuduhan radikal kepada umat islam disnyalir karena adanya ambisi ideologis untuk menundukkan kaum muslimin pada penjajahan ala demokrasi Barat, serta menjegal bangkitnya kekuatan politik Islam di negeri ini.  

Bahaya sesungguhnya adalah bercokolnya paham dan praktik sistem sekuler liberal dalam bingkai kapitalisme yang dipraktekkan negeri ini. Diterapkannya sistem demokrasi liberal menyebabkan Indonesia bangkrut, rusak, gagal dan terjajah. Terbukti dalam sistem demokrasi kemaslahatan dan nasib umat Islam akan terus dipinggirkan. Konspirasi Barat ini dilakukan tidak lain karena Islam dan umat Islam dinilai mengancaman terhadap dominasi peradaban Barat (kapitalisme global). Selain potensi SDM yang sangat besar berikut sumber daya alam (SDA)-nya yang melimpah, Islam dan umat Islam juga memiliki potensi ideologis yang jika semua potensi ini disatukan akan mampu mengubur sistem Kapitalisme global.   

Ulama, ormas Islam, Tokoh Masyarakat, akademisi, kaum intelektual dan semua aktifis gerakan Islam harus secara kontinyu dan bersama-sama melakukan kontra isu radikalisme yang terus dituduhkan kepada umat Islam. Harapan besar ditumpahkan kepara para mahasiswa pejuang Islam agar terus konsisten melakukan amr ma’ruf nahi mungkar, dimana peran mahasiswa muslim begitu strategis karena memiliki kapasistas intelektualitas tinggi, idealisme kokoh dan keberanian yang akan membuat penguasa dzolim tidak bisa tidur nyenyak.

Ketika orang-orang kafir (asing) melakukan makar untuk menghadang kebangkitan umat Islam. Niscaya makar itu akan gagal. Maka kehancuran dan kehinaan akan melekat pada diri mereka di dunia dan akhirat.

وَقَدْ مَكَرُوا مَكْرَهُمْ وَعِنْدَ اللَّهِ مَكْرُهُمْ وَإِنْ كَانَ مَكْرُهُمْ لِتَزُولَ مِنْهُ الْجِبَالُ

Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya.(Ibrahim:46)

Ketika penjajah asing ingin memadamkan cahaya Islam yang sudah diinginkan dan diperjuangkan umat islam, maka cahaya itu tidak akan padam. Sebaliknya mereka akan mendapatkan kehinaan dan ideologi yang mereka perjuangkan akan digantikan dengan Islam. Itulah janji Allah.

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai (at-taubah 32).

Salman ITB Launching Dua Buku Terbaru Ustaz Abdul Somad

BANDUNG (Jurnalislam.com) – Badan wakaf Masjid Salman ITB menggelar launching dan sharing buku terbaru Ustadz Abdul Somad (UAS) di Sabuga ITB, Sabtu (7/9/2019). Selain di Sabuga ITB, acara juga akan digelar dua tempat lainnya, Salman ITB dan Al-Furqon UPI. Dua buku terbaru karya UAS itu berjudul 66 Tanya Jawab Umrah dan 35 Kisah Saat Maut Menjemput.

Ketua Panitia, Syahidah mengatakan, acara tersebut merupakan bagian dari kegiatan Muhasabah Untuk Negeri Salman ITB dalam menyambut tahun baru Islam 1441 Hijriah.

“Hari ini Salman ITB menggelar kegiatan special yaitu UAS Press Indonesia Islamic Book Fair, ini juga merupakan rangkaian acara muhasabah untuk negeri menyambut tahun baru islam 1441 Hijriah,” katanya.

Sementara itu, Ustaz Abdul Somad mengungkapkan dua buku tersebut ia tulis dalam waktu satu bulan. “Buku kisah maut menjemput ini saya tulis lebih kurang dalam waktu satu bulan, karena pada saat itu saya tidak ada pengajian, tablig akbar, dan apapun kegiatan yang menguras tenaga maupun pikiran,” tutur UAS kepada awak media di Sabuga ITB Bandung, Sabtu (7/9/2019).

Selain peluncuran buku terbaru UAS, acara ini juga sebagai ajang mengajak umat Islam berinfaq dan sodaqoh untuk membantu membangun masjid Syekh Ajlin di Palestina melalui Aman Palestina dan pembebasan ruko untuk perluasan masjid Lautze 2 sebagai tempat pembimbingan para mualaf. 

Acara ini bekerjasama juga dengan beberapa lembaga keislaman, seperti Aman Palestina, Sahabat UAS

Reporter: Saifal