Sinergi Ayah-Ibu di Ujung Tanding: Mampukah Menahan Laju Kekerasan Keluarga?

Sinergi Ayah-Ibu di Ujung Tanding: Mampukah Menahan Laju Kekerasan Keluarga?

Oleh: Nida Fitri Azizah
Aktivis Mahasiswa

Jika ayah dan ibu berjalan seirama

Badai sebesar apa pun takkan merobohkan rumah, tetapi jika mereka saling membelakangi, angin kecil pun mampu menghancurkannya.

Saat ayah dan ibu tercerabut dari fitrahnya
karena sistem yang menyesatkan,rumah tak lagi menjadi surga, melainkan ladang ujian bagi anak-anak.

Pepatah diatas terasa seperti cermin bagi realitas banyak keluarga Indonesia hari ini. Di tengah tekanan ekonomi, gaya hidup materialistis, arus digital tanpa batas, serta sistem yang menjauhkan peran pengasuhan dari nilai fitrah dan akhlak, tidak sedikit orang tua yang lelah secara mental, bingung secara peran, dan lemah secara perlindungan.

Akibatnya, rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru berubah menjadi ruang yang rawan konflik, bahkan Lonjakan kekerasan keluarga di Kalimantan Timur kian terlihat bila membaca data DP3A per Oktober 2025 yang mencatat 1.110 kasus setara 3 hingga 4 korban setiap hari .(Diskominfo Kaltim) Angka ini menjadi ironi di tengah keberadaan UU No. 52 Tahun 2009 dan Perda Kaltim No. 2 Tahun 2022 tentang ketahanan keluarga yang digadang gadang sebagai solusi nasional.

Fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa regulasi tersebut gagal menyentuh akar persoalan, karena dibangun di atas kerangka pikir sekuler-kapitalistik yang memandang keluarga sebatas unit sosial-ekonomi, bukan benteng nilai dan perlindungan. Dalam situasi yang kompleks dan sistemik ini, kolaborasi ayah-ibu maupun peran Puspaga, meski penting, nyatanya belum cukup kuat untuk menahan laju kekerasan yang lahir dari rusaknya sistem kehidupan itu sendiri.

Kondisi ini menegaskan bahwa persoalan kekerasan keluarga bukan semata kegagalan individu, tetapi juga buah dari sistem kehidupan yang gagal menjaga peran ayah dan ibu sebagai pendidik, pelindung, dan teladan utama bagi anak. Dari sinilah urgensi menguatkan kembali sinergi orang tua bukan hanya secara emosional, tetapi juga secara nilai, visi, dan tanggung jawab menjadi sangat mendesak.

Peran Ayah dan Ibu di Tengah Tekanan Ekonomi dan Rusaknya Nilai Keluarga

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap sedikitnya terdapat tujuh penyebab utama maraknya kekerasan pada anak, mulai dari budaya patriarki, penelantaran, pola asuh yang keliru, rendahnya kontrol terhadap anak, anggapan bahwa anak adalah aset orang tua, rendahnya kesadaran melapor, pengaruh media dan pornografi, hingga merosotnya moral.

Daftar ini memang menggambarkan betapa rumit dan berlapisnya persoalan kekerasan terhadap anak. Namun, jika ditelisik lebih dalam, seluruh faktor tersebut sejatinya berakar pada satu sebab besar yang jarang disentuh secara serius: sistem kehidupan sekuler yang saat ini diterapkan.Mulai dari maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak baik karena himpitan ekonomi, emosi yang tak terkendali, kerusakan moral, maupun lemahnya iman dan pemahaman peran orang tua hingga gagalnya orang tua memahami fungsi dan perannya sejalan dengan apa yang dituangkan dalam pemikiran Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani termaktub pada Nidzām al-Ijtimā‘ī bahwa kerusakan sistem pergaulan lahir dari penerapan sistem sekuler-kapitalistik.

Dalam kehidupan kapitalis, aturan Islam tentang hubungan laki-laki dan perempuan, batas pergaulan, penjagaan kehormatan, serta tanggung jawab keluarga diliputi oleh kebebasan dan berorientasikan materi Akibatnya, fitrah orang tua sebagai pelindung dan pendidik anak tercabut, rumah kehilangan fungsinya sebagai benteng keamanan, sementara tekanan ekonomi kapitalisme dan arus media yang sarat kerusakan moral justru menjadi pemicu kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Ini menegaskan bahwa kekerasan bukan sekadar kegagalan individu, melainkan buah dari rusaknya sistem pergaulan yang dibangun di atas ideologi yang bertentangan dengan Islam.

Iman Terjaga, Jiwa Tentram, Keluarga Kuat: Buah dari Islam yang Kaffah

Ketika kapitalisme melingkupi kehidupan generasi,ukhuwah melemah, kepedulian mengering, hingga kekerasan terhadap perempuan dan anak dianggap biasa dalam masyarakat yang sibuk mengejar dunia.Keluarga sejatinya adalah benteng pertama perlindungan manusia, tempat rasa aman, kasih sayang, dan pembentukan karakter bermula. Dalam pandangan Islam, fungsi keluarga tidak sekedar sebagai ruang biologis dan sosial, namun lebih vital dari itu yakni menjadi madrasah peradaban yang menanamkan kepribadian Islam kepada seluruh anggotanya.

Maka dalam point inilah peran negara tidak bisa disingkirkan. Negara berkewajiban melakukan edukasi yang terarah untuk membentuk kepribadian Islam, sekaligus menguatkan pemahaman tentang peran, hak, dan hukum-hukum keluarga berdasarkan syariat. Ketika setiap individu memahami kewajiban dan batasan perannya secara sahih, maka komitmen dalam membangun keluarga yang benar akan tumbuh dengan sendirinya.

Lebih dari itu, edukasi yang terintegrasi dan komprehensif melalui sistem pendidikan serta media informasi resmi negara dalam naungan penerapan Islam secara kaffah sebab hanya hal inilah yang akan menjamin lahirnya ketahanan keluarga yang kokoh. Bukan hanya menguatkan fungsi perlindungan, tetapi juga menjadi tembok yang efektif dalam mencegah kekerasan dalam rumah tangga yang hari ini kian mengkhawatirkan.

Perlindungan dalam Islam meliputi fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya. Hal ini dijabarkan dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya, menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan martabatnya, menjaga kesehatannya, memilihkan teman bergaul yang baik, menghindarkan dari kekerasan, dan lain-lain.Dalam Islam, terdapat tiga pilar yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak.

Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala.

Kedua, lingkungan. Dalam hal ini masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah kontrol sosial perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun. Budaya amar makruf inilah yang dihilangkan dalam sistem sekuler kapitalisme.

Ketiga, negara sebagai peran kunci mewujudkan sistem pendidikan, sosial, dan keamanan dalam melindungi generasi.

Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. At-Tahrim [66]: 6 bahwa setiap mukmin aga menjaga diri dan keluarganya dari siksa api neraka juga mengisyaratkan kewajiban yang melekat pada negara sebagai pelindung rakyat untuk menghadirkan sistem yang menopang ketahanan dan keselamatan keluarga. Hal ini dipertegas oleh hadis Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim), yang menyiratkan bahwa tanggung jawab perlindungan dan pendidikan dalam keluarga merupakan amanah yang tidak hanya bersifat individual, tetapi juga struktural. Seluruh prinsip ini selaras dengan maqashid syariah, khususnya dalam menjaga keturunan (hifz al-nasl) dan mewujudkan kemaslahatan serta kesejahteraan umat.

Selain itu fungsi negara juga memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak. Negara juga menerapkan sistem sanksi Islam. Sepanjang hukum Islam ditegakkan, kriminalitas jarang terjadi. Ini terjadi karena sanksi Islam memberi efek jera bagi pelaku sehingga tidak akan ada cerita kasus kejahatan atau kekerasan berulang terjadi. Wallahu ‘alam Bishawab

Bagikan