Oleh: Najma Syarifah
Bencana longsor terjadi di Jawa Tengah, seperti Cilacap, di Desa Cibeunying Kecamatan Majenang pada Kamis (Mongabay.co.id 13/11/ 2025) hingga Selasa (18/11/2025) data menyebutkan, 16 korban tewas berhasil dievakuasi dan 7 korban lainnya masih dalam tahap proses pencarian. Sementara di Banjarnegara, Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum mengalami kasus serupa yakni terjadinya longsor pada minggu (16/11/2025) sore hari.
Terjadinya bencana ini menyebabkan dua korban tewas dan 800 warga mengungsi. Pakar geologi Fakultas Teknik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Indra Permanajati mengungkap bahwa longsor yang terjadi di Pandanarum hampir sama dengan di Cibeunying. Selisihnya di Pandanarum yang terjal menjadi faktor dominan. Di cibeunying air tanah dan curah hujan di kawasan hutan menjadi faktor pemicu utama terjadinya longsor tersebut.
Terjadinya bencana longsor, tepatnya di Jawa Tengah merupakan masalah serius yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah, terlebih lagi dalam masalah pembangunan itu sendiri. Pasalnya, dalam pembangunan suatu wilayah, tata ruang hidup merupakan hal yang harus diperhatikan. Artinya, untuk mewujudkan pembangunan yang berjangka panjang dibutuhkan pengaturan pemanfaatan ruang dengan baik. Namun, hal ini hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perencanaan dan strategi penataan tata ruang secara maksimal sehingga tujuan pembangunan tersebut akan terwujud.
Selain itu, dalam pelaksanaan strategi penataan ruang, diperlukan untuk memperhatikan beberapa pertimbangan, salah satunya memperhatikan kondisi wilayah yang rawan bencana. Penataan ruang pada kawasan rawan bencana diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana tanah, dengan tujuan untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan sehari-hari. Banyak bencana seperti longsor di Cilacap dan Banjarnegara menunjukkan akibat kesalahan dalam mengolah tata ruang hidup dan lingkungan.
Dari sekian banyaknya bencana, selayaknya bagi pemerintah untuk melakukan penanganan bencana secara cepat tanggap sehingga dampak yang ditimbulkan oleh bencana tersebut tidak menelan banyak korban. Akan tetapi justru sebaliknya, pemerintah yang seharusnya menjadi penanggung jawab penanganan bencana tidak serius menyiapkan kebijakan yang kuratif dalam permasalahan mitigasi bencana tanah liat bahkan penanganan bencana yang diberikan oleh pemerintah sangat lamban, yang menunjukkan akan lemahnya sistem mitigasi baik pada tatanan individu, masyarakat, dan negara.
Hal ini berbeda dalam Islam. Islam memandang permasalahan bencana ini dengan dua dimensi, yakni ruhiyah dan siyasiyah. Adapun dimensi ruhiyah, merupakan dimensi yang berhubungan mengenai pemaknaan bencana sebagai kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan dimensi yang merupakan dimensi terkait kebijakan tata kelola ruang dan mitigasi bencana. Mengenal dimensi ya, Islam telah memberikan edukasi kepada umat dengan cara memahamkan ayat-ayat Allah dan hadis rasul terkait bencana akibat ulah tangan manusia, merusak alam itu dosa dan membahayakan lingkungan hidup.
Selain itu, negara dalam Islam akan serius dalam menyiapkan kebijakan yang preventif dan kuratif dalam mitigasi bencana dengan cepat tanggap dalam rangka menjaga keselamatan jiwa rakyatnya. Tidak hanya itu, dalam Islam pemerintah akan bertanggung jawab memberikan bantuan yang layak dan pendampingan dan penelitian hingga masyarakat yang tertinggal bencana mampu menjalani kehidupan dan normal seperti sediakala. Waallahu a’lam