Fenomena “Confess” di Media Sosial dan Pilihan untuk Tidak Ikut Arus: Sebuah Refleksi

Fenomena “Confess” di Media Sosial dan Pilihan untuk Tidak Ikut Arus: Sebuah Refleksi

Oleh: Rika Arlianti DM

Beberapa tahun terakhir, konten bertema confess, baik dalam bentuk video, thread, maupun kampanye digital semakin mudah ditemui di berbagai platform media sosial. Ajakan untuk menyatakan perasaan dianggap sebagai bentuk keberanian, langkah dewasa, bahkan cara “mengamankan peluang” sebelum terlambat. Fenomena ini tidak hanya viral secara sesekali, tetapi telah menjadi bagian dari budaya digital generasi muda.

Merujuk pada journal.unnes.ac.id tentang Journal of Social and Industrial Psycology, data from the Indonesian Digital Report dari We Are Social, pada Januari 2023 terdapat sekitar 167 juta pengguna media sosial aktif di Indonesia, setara dengan 60,4% dari total populasi. Dengan penggunaan media sosial yang sangat besar tersebut, wajar jika banyak interaksi romantis juga bermigrasi ke ranah digital, termasuk ekspresi rasa suka atau “confess”.

Menurut m.kumparan.com, kata confess sendiri dalam konteks media sosial telah mengalami perluasan makna. Secara tradisional, “confess” berarti mengaku akan kesalahan atau dosa, tetapi dalam bahasa gaul media sosial, confess banyak diartikan sebagai pengakuan perasaan romantis.

Perubahan makna ini mencerminkan realitas komunikasi modern, di mana batas antara ranah publik dan privat semakin kabur.

Menolak Confess Bukan Berarti Takut, Melainkan Sebuah Pilihan dengan Penuh Kesadaran

Banyak orang beranggapan bahwa tidak menyatakan perasaan sama dengan pengecut, kurang percaya diri, atau takut ditolak. Padahal, bagi sebagian orang, pilihan itu muncul dari pertimbangan yang jauh lebih matang.

Saya termasuk dalam kelompok kedua. Sejauh ini, saya tidak pernah melakukan confess kepada siapa pun. Bukan sebab gengsi, bukan karena takut ditolak, dan bukan pula karena merasa inferior. Saya tidak terbiasa mudah tertarik pada seseorang, apalagi sampai menaruh kepercayaan hanya berdasarkan penampilan atau kesan pertama. Bagi saya, kedekatan emosional tidak harus diumbar dalam bentuk pernyataan yang seremonial.

Saya lebih nyaman dengan prinsip “jalan saja dulu”. Tidak perlu tergesa-gesa menempelkan label pada sesuatu yang masih cair, tidak perlu mencari kepastian lewat kalimat “aku suka kamu”. Relasi, baik pertemanan maupun ketertarikan, bisa tumbuh secara natural tanpa perlu dipaksa.

Selain itu, saya menghindari situasi canggung yang biasanya muncul setelah confess. Banyak yang berpendapat bahwa hubungan sosial mereka berubah “jadi aneh” setelah salah satu pihak menyatakan perasaan. Dan saya tidak ingin mengalami hal itu, terutama jika kedekatan itu terjadi dengan orang-orang yang sering saya temui dan saya temani dalam keseharian.

Confess sebagai Potensi Aib? Perspektif yang Jarang Dibahas

Di era digital, jejak digital adalah hal yang nyata. Pesan lama bisa muncul kembali, tangkapan layar bisa menyebar, dan cerita masa lalu bisa menjadi bahan gosip atau candaan bertahun-tahun kemudian. Karena itu, bagi sebagian orang, confess justru terasa seperti membuka potensi aib.

Tentunya, bukan karena menyukai seseorang adalah hal memalukan. Melainkan karena kerentanan yang diungkapkan saat confess dapat dengan mudah disalahgunakan, disebarkan, atau diingat oleh orang lain untuk waktu yang terlalu lama. Menyimpan perasaan kadang bukan tindakan pengecut, tetapi bentuk perlindungan diri.

Fenomena Confess dan Tekanan Sosial: Tidak Semua Tren Perlu Diikuti

Jika ditarik ke fenomena yang lebih besar, budaya confess sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu:

1. Narasi media yang menonjolkan keberanian sebagai satu-satunya indikator kedewasaan.

2. Tekanan sosial digital, terutama dari konten viral yang seolah meyakinkan bahwa mengungkapkan perasaan adalah cara untuk “mengambil alih nasib”.

3. Romantisasi hubungan dalam film dan drama Korea yang sering digambarkan dimulai dari momen confess yang dramatis.

4. Fear of missing out (FOMO) terhadap pengalaman emosional yang dianggap penting di usia muda.

Namun, perspektif yang jarang dibahas adalah kedewasaan juga bisa muncul dari menahan diri, mempertimbangkan dampak jangka panjang, dan memahami bahwa tidak semua perasaan perlu diumbar. Tidak confess adalah pilihan valid. Terkadang, itu justru pilihan paling rasional.

Ketika Diam Justru Menjaga Hubungan Tetap Sehat

Pada akhirnya, confess bukanlah ukuran keberanian, begitu pula dengan diam bukanlah tanda ketakutan. Setiap orang memiliki cara masing-masing dalam memaknai hubungan dan perasaan. Bagi saya, tidak confess adalah cara menjaga keseimbangan sosial, menghindari drama yang tidak perlu, dan melindungi diri dari kerentanan yang mungkin menjadi bumerang di kemudian hari.

Di tengah tren yang mendorong kita untuk lebih vokal, berani, dan “go for it”, tidak mengikuti arus justru bisa menjadi bentuk keberanian yang lain. Keberanian untuk mengenal diri sendiri, memegang prinsip, dan memilih jalan yang paling sehat bagi diri kita sendiri.

Bagikan