GAZA (jurnalislam.com)— Hamas dan Israel telah menyelesaikan hari kedua perundingan tidak langsung yang membahas usulan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza. Sejumlah pejabat tinggi Qatar dan AS dikabarkan telah bertolak ke Mesir untuk bergabung dalam proses negosiasi tersebut.
Dalam pidatonya di Gedung Putih pada peringatan dua tahun dimulainya perang, Trump menyatakan bahwa terdapat “peluang nyata” untuk mencapai kesepakatan di Gaza. Pernyataan itu disampaikan setelah berakhirnya perundingan hari Selasa (7/10) di kota resor Sharm el-Sheikh, Mesir.
Namun, di hari yang sama, sejumlah faksi Palestina termasuk Hamas menegaskan komitmen mereka terhadap “perlawanan dengan segala cara” dan menolak keras upaya pelucutan senjata kelompok perlawanan. Pernyataan itu tampaknya merujuk pada salah satu poin utama dalam rencana 20 butir yang diajukan oleh Trump, yakni perlucutan senjata kelompok bersenjata Palestina.
Pejabat senior Hamas, Fawzi Barhoum, menyampaikan bahwa delegasi Hamas dalam negosiasi tersebut menginginkan penghentian total agresi dan penarikan penuh pasukan pendudukan dari Gaza. Namun, dalam rencana Trump, penarikan pasukan Israel masih belum dijelaskan secara rinci, dan hanya akan dilakukan secara bertahap setelah Hamas membebaskan 48 tawanan Israel – di mana sekitar 20 di antaranya diperkirakan masih hidup.
Seorang pejabat Hamas yang enggan disebutkan namanya di media mengatakan kepada Al Jazeera bahwa setelah perundingan hari Selasa mengatakan bahwa kelompok tersebut berencana membebaskan tawanan secara bertahap, seiring dengan proses penarikan militer Israel dari Gaza.
“Pembebasan sandera terakhir harus bertepatan dengan penarikan terakhir pasukan Israel,” ujar pejabat tersebut, menegaskan fokus utama perundingan hari Selasa adalah penjadwalan pembebasan tawanan Israel dan peta penarikan pasukan pendudukan.
Negosiator utama Hamas, Khalil al-Hayya, mengatakan pihaknya “tidak mempercayai pendudukan, sedetik pun.” Dalam keterangannya kepada Al Qahera News, media yang berafiliasi dengan pemerintah Mesir, ia menegaskan bahwa Hamas menuntut adanya “jaminan nyata” agar perang benar-benar diakhiri dan tidak dimulai kembali, seraya menuding Israel telah melanggar dua kali gencatan senjata dalam perang di Gaza.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengeluarkan pernyataan memperingati dua tahun serangan 7 Oktober 2023, yang menjadi pemicu perang di Gaza. Ia menyebut dua tahun terakhir sebagai “perang untuk eksistensi dan masa depan kami”.
Netanyahu mengatakan bahwa Israel kini berada pada “hari-hari pengambilan keputusan yang menentukan”, namun tidak secara langsung menyinggung negosiasi gencatan senjata. Ia menegaskan Israel akan terus mengejar “semua tujuan perang: membebaskan seluruh sandera, menghancurkan kekuasaan Hamas, dan memastikan Gaza tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel”.
𝗞𝗲𝗺𝗮𝗷𝘂𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗙𝗹𝗲𝗸𝘀𝗶𝗯𝗶𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀 𝗣𝗲𝗿𝘂𝗻𝗱𝗶𝗻𝗴𝗮𝗻
Meski masih terdapat sejumlah perbedaan pandangan, negosiasi di Mesir kali ini disebut-sebut sebagai kemajuan paling menjanjikan dalam upaya mengakhiri perang Gaza. Baik Hamas maupun Israel disebut telah menyetujui sebagian besar butir dalam rencana Trump.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed al-Ansari, mengatakan bahwa para mediator Qatar, Mesir, dan Turki tetap bersikap fleksibel dan terus mengembangkan formulasi kesepakatan selama proses perundingan berlangsung.
“Kami tidak berpegang pada prasangka dalam negosiasi. Formulasi kesepakatan ini berkembang seiring berjalannya perundingan,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Al-Ansari juga mengonfirmasi bahwa Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani, akan bergabung bersama para mediator lain termasuk Steve Witkoff dan Jared Kushner dari AS dalam perundingan lanjutan yang dijadwalkan pada Rabu di Mesir.
Menurutnya, keikutsertaan Sheikh Mohammed menunjukkan keseriusan para mediator untuk mencapai kesepakatan yang benar-benar mengakhiri perang.
Kendati demikian, masih muncul pertanyaan besar tentang siapa yang akan memerintah Gaza setelah perang berakhir, serta bagaimana dan siapa yang akan membiayai rekonstruksi besar-besaran wilayah tersebut.
Trump dan Netanyahu telah menolak peran Hamas dalam pemerintahan pascaperang. Rencana Trump mengusulkan agar Gaza dijalankan oleh para “teknokrat” Palestina di bawah pengawasan badan pemerintahan transisi internasional yang disebut “Dewan Perdamaian”, yang akan dipimpin langsung oleh Trump bersama mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
Menanggapi hal itu, Barhoum menegaskan bahwa Hamas menginginkan “rekonstruksi komprehensif yang segera dimulai di bawah pengawasan lembaga nasional Palestina”. (Bahry)
Sumber: Al Jazeera