Filisida Maternal Tumbuh di Tengah Kerusakan Sistemik

Filisida Maternal Tumbuh di Tengah Kerusakan Sistemik

Oleh: Djumriah Lina Johan
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Telah terjadi aksi bunuh diri yang dilakukan oleh seorang ibu berinisial EN (34) di Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat setelah diduga meracuni kedua anaknya yang berusia 9 tahun dan 11 bulan. Polisi juga menemukan surat wasiat berisi ungkapan penderitaan dan kekesalan terhadap suami, diduga terkait tekanan ekonomi dan utang keluarga.

Dari perspektif psikologi forensik, kasus ini termasuk dalam kategori maternal filicide-suicide, yaitu ketika seorang ibu mengakhiri hidup anaknya sebelum kemudian mengakhiri hidupnya sendiri. Fenomena ini bersifat multidimensional, dipengaruhi oleh faktor psikologis, sosial-ekonomi, serta minimnya dukungan kesehatan mental.

Pertama, dari faktor psikologis. Banyak ibu yang sudah memiliki anak mengalami depresi, stres berkepanjangan, atau gangguan mental lain yang tidak terdiagnosis. Hal ini menurunkan kemampuan berpikir rasional dan memunculkan distorsi kognitif-pikiran salah yang terasa benar bagi pelaku (Beck, 1976).

Kedua, faktor sosial dan ekonomi. Masalah ekonomi, terutama utang keluarga, menjadi pemicu signifikan. Beban ini bukan sekadar soal materi, tetapi juga menimbulkan rasa malu, tekanan sosial, hingga perasaan gagal menjalankan peran sebagai istri dan ibu.

Ketiga, minimnya dukungan kesehatan mental. Akses layanan kesehatan mental di Indonesia masih sangat terbatas. Data Profil Kesehatan Indonesia 2023 mencatat hanya ada sekitar 450 psikolog klinis untuk populasi lebih dari 270 juta jiwa. Selain keterbatasan tenaga profesional, stigma sosial juga membuat banyak ibu enggan mencari pertolongan. Menurut WHO (2014), stigma merupakan salah satu hambatan terbesar bagi penderita gangguan mental karena adanya ketakutan dianggap lemah atau “gila”.

Fenomena maternal filicide-suicide harus menjadi alarm bagi negara dan masyarakat untuk dapat memperkuat intervensi preventif, memperluas akses layanan psikologi, serta membangun dukungan sosial yang lebih kokoh bagi keluarga rentan.

Luluh Lantaknya Bangunan Keluarga Karena Sistem Rusak

Filisida maternal yang terjadi di atas nyatanya bukan kali pertama terungkap di Indonesia. Kasus serupa sudah pernah terjadi sejak tahun 2012 dan terus ada hingga kini. Ini berarti kasus tersebut sudah menjadi tren solusi ketika seorang ibu sudah tidak sanggup menghadapi beban kehidupan maka ia akan membunuh anak dan dirinya sendiri. Hal ini jelas telah meluluhlantakkan bangunan keluarga. Inilah gejala sakitnya masyarakat dalam sistem kapitalisme sekuler yang rusak dan merusak.

Sekularisme memisahkan kehidupan dan agama telah berhasil memupus fitrah keibuan. Keimanan yang memudar dalam diri seorang ibu serta ketakwaan yang tidak mengakar pada tingkah laku adalah faktor terbesar penyebab ibu kehilangan kewarasan hingga tega membunuh anak-anaknya.

Sekularisme telah mempersempit agama hanya sekadar ibadah ritual semata sehingga tidak menjadikan agama sebagai solusi permasalahan kehidupan. Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala. telah membekali manusia untuk hidup di dunia dengan seperangkat aturan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah.

Oleh karena itu, hilangnya fitrah ibu sebagai pelindung bagi anak-anaknya dari segala macam marabahaya merupakan dampak sekularisme. Paham inilah yang menyebabkan seorang ibu mengesampingkan peran agama.

Selain itu, sistem ekonomi kapitalis membuat kesejahteraan tak terjangkau dari kehidupan umat. Sistem ini eksploitatif dan diskriminatif hingga membuat kemiskinan merajalela dan gap sosial makin lebar. Walhasil, para ibu juga dituntut untuk membantu mencari nafkah keluarga, ditambah kebutuhan pokok yang serba mahal, membuat stres para ibu hingga berujung melakukan tindakan kriminal. Ini semua tentu akan membentuk lingkaran setan yang sulit dipecahkan.

Itulah sebab fenomena filisida yang tengah mengemuka tidak cukup terselesaikan dengan memperkuat intervensi preventif, memperluas akses layanan psikologi, serta membangun dukungan sosial yang lebih kokoh bagi keluarga rentan. Problem ini seharusnya mendorong negara menghilangkan semua faktor secara sistemis yang memantik masalah kejiwaan kaum ibu.

Islam Menjaga Fitrah Ibu

Sistem Islam dipastikan akan mengeliminasi semua stressor, bahkan menjadi support system bagi kesehatan mental masyarakat khususnya para ibu. Hal ini niscaya, karena akidah yang menjadi asas kehidupan mereka merupakan akidah yang lurus, sesuai akal dan fitrah manusia hingga menenteramkan jiwa. Akidah ini menjadi bekal ketahanan mental yang membuat umat Islam siap menghadapi ujian-ujian kehidupan.

Selain itu, Islam memberikan perhatian besar bagi keberlangsungan generasi, termasuk membangun support system bagi para ibu untuk mengoptimalkan perannya, baik di ranah domestik atau publik (misalnya tempat kerja). Support system tersebut adalah negara sebagai penjaga dan pelindung rakyat. Negara harus memiliki daya dan upaya untuk melakukan aktivasi sistem agar benar-benar terbentuk ketakwaan komunal.

Negara tidak akan membebani para ibu dengan permasalahan ekonomi. Negara akan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar dengan memudahkan para ayah dalam mencari nafkah, seperti membuka lapangan pekerjaan atau memberikan bantuan modal usaha. Negara akan memprioritaskan perekrutan pekerja laki-laki dibandingkan perempuan.

Konsep ini tidak hanya bualan semata namun telah terbukti selama belasan abad berdasarkan sejarah peradaban Islam yang tertulis dengan tinta emas. Sebagaimana sejarawan Barat bernama Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization menulis, “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapa pun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah, dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.”

Sistem Islam yang disebut Khilafah dan peradaban agung yang dilahirkannya ini tentu hanya akan tegak ditopang oleh individu-individu yang beriman dan bertakwa, masyarakat yang sehat fisik, psikis, dan kental dengan budaya amar makruf nahi mungkar, serta oleh negara yang konsisten melindungi dan menegakkan aturan Islam secara kaffah.

Oleh karena itu, mewujudkan kembali sistem ini membutuhkan perjuangan keras dan tersistem dari orang-orang yang sudah paham urgensi dan kewajiban untuk hidup dalam naungan sistem Islam. Itulah orang-orang yang sudah berazam mendarmabaktikan jiwa raganya untuk mewujudkan janji Allah berupa kembalinya Khilafah Rasyidah yang kedua, yang akan akan mengembalikan umat pada kemuliaannya. Wallahu a’lam.

Bagikan