Meraih Sifat Thaifah Al Manshuroh Dalam Berjamaah

Tekanan terhadap upaya kaum muslimin untuk bangkit menegakkan agamanya, senantiasa terjadi. Oleh karena itu, di setiap zaman senantiasa ada satu jamaah dari kaum muslimin yang berjuang habis-habisan untuk menegakkan agama mereka, merekalah kelompok yang mendapatkan Nashrullah. Bagaimana ciri-ciri mereka? Kita simak dalam uraian berikut.

Hari ini kita dipaksa untuk menyaksikan parade pemusnahan kaum muslimin yang dilakukan oleh orang-orang kafir, mulai dari pembantaian kaum muslimin di Siberia dan Kaukasus dibantai habis oleh rezim kafir Rusia, hingga pembunuhan massal  kaum muslimin di daratan Xinjiang oleh militer Komunis China. Tak lupa dengan berbagai aksi bombardemen koalisi tentara Amerika-Eropa dan Israel di Jazirah Arab dan kelancangan mereka dalam menguasa tanah suci.
Bahkan, di negeri kita sendiri, tercatat berbagai tragedy yang terjadi secara berantai terhadap umat Islam, sebut saja kisah pembantaian Tanjung Priok pada September 1984 yang menewaskan 400 nyawa kaum muslim, yang susul menyusul dengan tragedi-tragedi  lainnya seperti Tragedi Ambon dan Poso pada kurun 1999-2001 yang menewaskan lebih dari 700.000 nyawa kaum muslimin.

Di tengah kesedihan yang memuncak dan air mata darah yang semakin mendera, kaum muslimin pun mencoba bangkit, untuk sekedar membela diri. Ironisnya, mereka pun kemudian terpecah dalam sekian kelompok, organisasi dan partai-partai; masing-masing mengklaim bahwa dirinyalah yang berada di atas kebenaran, bukan yang lain.

Ketika kaum muslimin seharusnya berjamaah di bawah satu komando dan bangkit dan melawan ketertindasan tersebut, mereka justru tenggelam dalam fanatisme golongan yang mencerai-beraikan manhaj dan timbangan kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah. Persaudaraan dan permusuhan mereka pun tidak lagi diletakkan di atas manhaj Al-Wala’ wal Bara’, tetapi berdasarkan hawa nafsu masing-masing.

Sehingga umat Islam begitu mudah berpecah-belah, hanya karena hawa nafsu, egoisme, serta berbagai bentuk fanatisme batil yang dibangun dan dipaksakan kepada para pengikut partai dan kelompok-kelompok tersebut! Akibatnya, umat Islam yang tersisa pun mengalami traumatisme terhadap semua jamaah-jamaah masa kini—baik yang benar maupun yang batil.

Mereka pun kemudian lebih suka hidup mengucilkan diri tanpa mau melaksanakan kewajiban berjamaah, dengan membedakan antara jamaah yang pantas menerima kesetiaan dan jamaah yang pantas menerima permusuhan. Mereka terlanjur meragukan keikhlasan setiap jamaah yang muncul dalam kancah perjuangan Islam. Setiap jamaah yang ada, menurut mereka adalah BERSALAH, terhadap umat Islam.

Thaifah Al-Manshurah, Kelompok Pejuang Islam Hingga Hari Kiamat
Sikap trauma untuk berjamaah ketika menegakkan dienullah tersebut jelas bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw, “Akan senantiasa ada di antara ummatku suatu kelompok yang tampil membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan (tidak menolong) mereka sehingga datang ketetapan Allah, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian.” (HR. Muslim)

Demikianlah, hadits di atas menunjukkan adanya suatu jama’ah, adanya suatu kelompok yang berjuang mati-matian untuk membela Al-Haq. Dengan kata lain, gugurlah keraguan mereka  yang sampai hari ini masih antipati untuk hidup berjamaah, dan tidak mau menjalankan syariat Al-Jamaah.

Mereka adalah kelompok yang memiliki sifat sebagaimana yang disebutkan dalam dialog antara Salamah bin Nufail Al-Kindi a dengan Rasulullah Saw, ketika banyak orang mengatakan bahwa syariat jihad sudah tidak ada lagi, dan perang telah usai. Pada saat itu Rasulullah Saw bersabda, ‘Mereka bohong! Justru sekarang telah datang masa perang, dan akan senantiasa ada di antara umatku sekelompok orang yang berperang membela kebenaran, dan Allah membuat hati banyak kaum berpaling kepada mereka dan memberi rezki mereka dari (harta musuh) mereka hingga kiamat tiba, sehingga janji Allah datang…” (Shahih Sunan An-Nasai: 3333)

Inilah Thaifah Al-Manshurah, inilah sekelompok kaum muslimin (Tha’ifah) yang ditolong oleh Allah ta’ala (Al-Manshurah), inilah Jamaah dari sebagian kaum muslimin yang dimenangkan atas semua musuh-musuh-Nya dengan datangnya Nashrullah  (pertolongan Allah).

Sifat-Sifat Thaifah Al-Manshurah Yang Harus Kita Raih
Tha`ifah Manshurah bukan sifat yang dapat dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi ia adalah sifat yang dikenal melalui ciri dan karakteristik yang ditunjukkan oleh nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah.

Siapa yang melekat padanya ciri sifat tersebut, dia termasuk di antara Tha`ifah Manshurah, baik orang menerimanya ataupun menolaknya. Sebaliknya, siapa pun yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut, dia bukan tergolong Tha`ifah Manshurah, meskipun dia mengaku-ngaku seribu kali!
Adapun ciri-ciri Thaifah Al-Manshurah dapat diringkas dalam poin-poin berikut:[1]

1. Ittiba` (mengikut sunnah) bukan Ibtida` (membuat bid`ah)
Mereka berjalan mengikuti Minhaj Nubuwwah (methode kenabian); shirathal mustaqim, mencari petunjuk melalui pemahaman Salafush Shaleh terhadap nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah Dalam seluruh urusan mereka.[2] Hawa nafsu dan beraneka macam jalan yang dibuat-buat oleh kaum musyrikin dan ahli bid`ah, tidak dapat memalingkan pandangan mereka.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan sesat sepeninggal saya selama-lamanya, yakni Kitabullah dan sunnahku.[3] Beliau n juga bersabda, “…Ketahuilah bahwa apa yang diharamkan Rasulullah Saw. adalah seperti apa yang diharamkan Allah.”[4]

2. Berjihad fi sabilillah.
Jihad fi sabilillah merupakan ciri yang senantiasa melekat dan tidak bisa dilepaskan dari sifat Tha`ifah Manshurah. Dalam keadaan apapun, mereka dikenali melalui sifat ini.

Apabila mereka terpisah dari jihad fi sabilillah karena keadaan yang luar biasa, kita akan melihat bahwa mereka begitu bersemangat untuk menyingkirkan penghalang jihad dengan mengorganisir diri dalam suatu jamaah yang teratur rapi dalam rangka i’dad, agar mereka bisa memulai kembali berjihad fi sabilillah. Hal ini bisa kita simak dalam sabda-sabda Nabi Saw tentang mereka.

Berkenaan dengan hal tersebut, Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu`min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(Al Maa-idah 54)

Demikianlah, mereka adalah kaum, mereka adalah kelompok, mereka adalah jamaah yang senantiasa bekerja dan terorganisir secara rapi, dipimpin seorang amir muthaa` (pemimpin yang dita`ati). Dalam rangka jihad untuk menegakkan Islam.

3. Membangun kesetian dan memulai permusuhan karena Allah.
Benar, mereka berwala`[5] dan mencintai karena Allah, memusuhi dan membenci karena Allah. Mereka lemah lembut dan belas kasih terhadap orang-orang beriman dan keras terhadap orang-orang kafir. Mereka tidak mengenal wala`/loyalitas kecuali yang ditegakkan di atas aqidah
Berkenaan dengan hal tersebut Allah SWT berfirman, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29)

4. Totalitas dalam ber-Islam
Tha`ifah Manshurah mengambil Islam secara keseluruhan tanpa mengabaikan salah satu aspek di antara aspek-aspeknya. Mereka bukanlah jama`ah yang manhaj serta aktifitasnya hanya tegak dan terfokus pada aspek dakwah dan tabligh saja! Juga bukan jama`ah yang hanya terpaku dan terfokus pada jihad saja.

Mereka juga bukan jama`ah yang manhaj-manhajnya berdiri di atas prinsip mencari ilmu dan fiqh saja, tanpa menaruh perhatian terhadap aspek-aspek amaliyah/pengamalan dari agama ini.

5. Bersikap Adil
Mereka bersikap adil dalam semua aspek kehidupan agama dan dunia mereka, di mana mereka tidak bersikap ghuluw (melewati batas) ataupun jafaa` (menjauh), tidak Ifraath (berlebih-lebihan) maupun Tafriith (melalaikan).

Sebagai catatan, sikap adil di sini bukanlah sikap kompromistis, yang justru mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, tetapi ia adalah sikap untuk selalu mengembalikan persoalan pada syariat Islam sebagaimana yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yakni 3 generasi utama Islam yang dijamin kebenarannya oleh Rasulullah.

Sebagaimana firman Allah SWT, “Demikianlah Kami jadikan kalian sebagai ummat “Wasathan” (yang adil dan terbaik) agar kalian jadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul jadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Al-Baqarah: 143)

6. Ilmu.
Mereka adalah ulama (orang-orang yang berilmu) dalam urusan agama dan dunia mereka. Sebab, ciri-ciri dan sifat mereka yang telah disebutkan di muka menunjukkan kepada kita bahwa mereka adalah ulama.

Namun demikian, bukan berarti setiap personal dalam Tha`ifah Manshurah adalah orang-orang alim yang menonjol, dalam pencarian ilmu dan pencapaiannya. Hanya saja, kelompok yang mendapatkan sifat Tha`ifah Manshurah tersebut tidak boleh kosong dari ulama rabbaniyun dan amilun.

7. Sabar dan teguh hati.
Beratnya beban tugas yang terpikul di atas pundak Tha`ifah Manshurah, menuntut adanya satu sifat khusus yang harus mereka miliki, yakni Sabar dan Tsabat/teguh hati. Mengapa demikian? Karena mereka adalah kelompok yang tidak bisa lepas dari ujian.

Jika disebut kata Thaifah Al-Manshurah, pasti juga akan diikuti kata ujian, pasti juga disebutkan kata sakit dan luka! Oleh karena itu, para anggota Thaifah Al-Manshurah ini pasti terbiasa dengan kesulitan hidup, pengusiran, penangkapan, penyiksaan, bahkan pembunuhan dan jihad.

Demikianlah ciri-ciri Thaifah Al-Manshurah dan sudah selayaknya kita berlomba-lomba untuk menuju pada mereka. Sebagai penutup, agaknya perlu kita renungi kutipan utuh hadits shahih berikut:

“Akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang berperang menegakkan agama Allah, mengalahkan musuh mereka, dan tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka hingga datang hari kiamat atas mereka, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian. Kemudian Allah mengirim angin seperti angin misk, sentuhannya seperti sentuhan sutera, dan ia tidak meninggalkan jiwa yang di dalam hatinya terdapat iman seberat biji sawi, kecuali ia akan mencabutnya, kemudian tinggallah seburuk-buruk manusia, terhadap merekalah kiamat akan terjadi.” (H.R Muslim).


[1] Lihat ‘Shifatu At-Thaifah Al-Manshurah’ oleh Syaikh Abdul Mun’im Musthofa Halimah
[2] Salafussh Shaleh: Adalah para sahabat –radhiyallaahu `anhum– dan siapa yang mengikuti cara dan jalan mereka di antara para Tabi`in yang mengikuti mereka pada tiga era masa Islam yang pertama, yang telah disaksikan kebaikan mereka.
[3] Lih. Al-Jami’ Ash-Shahih
[4] Shahih Sunan Ibnu Majah 12.
[5] Mempersahabati, mendukung dan menolongnya

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses