YERUSALEM (jurnalislam.com)– Parlemen Israel (Knesset) pada Rabu (23/7/2025) menyetujui sebuah mosi tidak mengikat yang mendukung aneksasi wilayah Tepi Barat. Langkah simbolis ini menjadi upaya pemersatu koalisi pemerintahan sayap kanan yang sebelumnya dilanda perpecahan.
Resolusi tersebut disahkan dengan perolehan suara 71-13. Dalam isi mosi, disebutkan bahwa Tepi Barat adalah “bagian yang tak terpisahkan dari Tanah Israel, tanah air historis, budaya, dan spiritual bangsa Yahudi,” serta bahwa “Israel memiliki hak alami, historis, dan hukum atas seluruh wilayah Tanah Israel.”
“Ini tanah kami. Ini rumah kami. Tanah Israel adalah milik rakyat Israel,” ujar Ketua Knesset, Amir Ohana, seusai pemungutan suara.
“Pada tahun 1967, pendudukan tidak dimulai, tetapi justru berakhir. Tanah air kami dikembalikan kepada pemiliknya yang sah. Kami adalah penduduk asli pertama di tanah ini. Orang Yahudi tidak bisa disebut sebagai penjajah di wilayah yang telah disebut Yudea selama 3.000 tahun,” tambahnya.
Aneksasi Tepi Barat dan perluasan permukiman Israel di wilayah tersebut telah lama menjadi agenda kelompok sayap kanan Israel. Pada 2019, menjelang pemilu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berjanji akan mencaplok Lembah Yordan yang terletak di sisi timur Tepi Barat. Namun, janji itu tertunda akibat krisis politik yang berlarut-larut dan serangkaian pemilu tanpa hasil jelas.
Sejak itu, pemerintah belum mengajukan undang-undang aneksasi yang bersifat mengikat. Tahun lalu, Knesset juga melakukan pemungutan suara dengan jumlah serupa untuk menolak pembentukan negara Palestina.
Pemungutan suara Rabu ini digelar beberapa hari sebelum masa reses parlemen selama hampir tiga bulan. Pada hari yang sama, fraksi Likud mencopot Yuli Edelstein dari jabatannya sebagai Ketua Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan, menggantikannya dengan Boaz Bismuth, loyalis Netanyahu yang diperkirakan akan mempercepat pengesahan undang-undang terkait wajib militer bagi warga ultra-Ortodoks.
Partai-partai ultra-Ortodoks yang sebelumnya keluar dari koalisi akibat perselisihan soal wajib militer, bergabung kembali dengan Likud dan partai sayap kanan lainnya dalam mendukung resolusi aneksasi. Partai oposisi Yisrael Beiteinu juga memberikan suara mendukung.
Sementara itu, partai-partai Arab dan faksi sayap kiri dari Partai Demokrat menentang resolusi tersebut. Partai oposisi terbesar seperti Yesh Atid dan Biru Putih memilih tidak memberikan suara.
𝗞𝗲𝗰𝗮𝗺𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗱𝗮𝗻 𝗟𝘂𝗮𝗿 𝗡𝗲𝗴𝗲𝗿𝗶
Anggota Knesset dari Partai Demokrat, Gilad Kariv, mengecam mosi tersebut. Ia menyebutnya sebagai “tipuan politik untuk mengalihkan perhatian dari krisis para sandera yang masih ditahan di Gaza, sekaligus mempercepat pengesahan undang-undang penghindaran kewajiban militer.”
“Aneksasi Yudea dan Samaria adalah ancaman nyata bagi masa depan Israel dan cita-cita Zionis,” tulis Kariv di platform X.
Wakil Presiden Otoritas Palestina, Hussein al-Sheikh, juga mengecam pemungutan suara tersebut dan menyebutnya sebagai “eskalasi berbahaya yang merusak prospek perdamaian, stabilitas, dan solusi dua negara.”
Ia menilai langkah Israel sebagai “serangan langsung terhadap hak-hak rakyat Palestina,” dan memperingatkan bahwa skenario aneksasi akan semakin menegaskan ketidaksetaraan antara warga Palestina dan pemukim Israel di wilayah yang sama.
Sheikh mendesak komunitas internasional untuk turun tangan dan membatalkan langkah yang ia sebut sebagai pelanggaran hukum internasional. Ia juga menyerukan pengakuan internasional terhadap negara Palestina sebagai bentuk respons konkret atas kebijakan Israel. (Bahry)
Sumber: TOI