Sebut Oknum Terus Biar Tidak Ada Koreksi

Sebut Oknum Terus Biar Tidak Ada Koreksi

Oleh: Rulian Haryadi, Founder Boomboxzine

Baru-baru kita disentak kabar bunuh dirinya seorang wanita (23) karena tekanan mental. Seorang wanita remaja ini tak kuasa menanggung beban moral sebagai mahluk sosial disatu sisi ada penekanan dari pria yang menghamilinya. Kecamuk hastag tak usai pada kasus ini pasalnya korban yang bunuh diri ini menyasar pada pria bernama Randy sebagai anggota aparat keplisian. Instansi Kepolisian bukan kali ini saja di serang oleh masyarakat bahkan setiap ada viral aparat yang mencederai masyarakat rentetan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat membucah di media sosial secara kooperatif swadaya.

 

Selain penanganan yang lambat dan hukum yang selalu mengecewakan dipihak korban ada yang lebih menyebalkan lagi yaitu istilah kata oknum. Penegasan kata ini acap kali termaktub dalam media manakala institusi pemerintah bertindak diluar batas jauh dari moral.

 

Apabila merujuk pada KBBI, oknum memiliki tiga makna. Pertama, penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik; pribadi. Kedua, orang; perseorangan. Ketiga, orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik). Dalam konteks pemberitaan media, sebagaimana dilansir dari Majalah Tempo, kata oknum biasanya digunakan untuk memisahkan anggota suatu institusi atau kelompok tertentu dari institusi atau kelompoknya. Biasanya, pemisahan tersebut dilakukan ketika anggota suatu institusi atau kelompok tersebut melakukan suatu hal yang tercela.

 

Menurut Ekarini Saraswati dalam buku Rekayasa Bahasa Politik Orde Lama dan Orde Baru, setiap elite politik yang berkuasa pada umumnya menyusun sebuah kamus bahasa yang disesuaikan dengan ideologi dan kepentingannya, yang kemudian disebut sebagai politik bahasa. Pada era Orde Baru, politik bahasa yang kentara adalah eufemisme adalah penghalusan kata-kata tabu.

 

Seno menutur bahwa wartawan zaman Orba paham “kalau ada alat negara, seperti polisi atau militer menjadi berita karena melakukan tindak kejahatan, tanpa harus disuruh lagi mereka wajib menuliskannya ‘oknum polisi’ atau ‘oknum ABRI’ dan semacam itu,” tulis Seno dalam artikel berjudul Oknum dalam Politik Bahasa yang tayang dalam Majalah Tempo tahun 2014 silam.

 

“Tidak akan diingkari bahwa pelaku kejahatan bersangkutan adalah memang polisi atau anggota ABRI (kini TNI), tapi kata ‘oknum’ digunakan untuk menggarisbawahi bahwa yang bersangkutan tidaklah mewakili lembaga kepolisian atau angkatan bersenjata itu sendiri. Dalam bahasa awam: tidak semua polisi seperti itu, seperti juga tidak semua anggota ABRI seperti itu.”

 

Di era keterbukaan informasi yang cepat seperti hari ini herannya pemerintah masih memakai oknum sebagai kata pemisah antara individu dan instansi. Masyarakat yang geram di era Orde Baru mungkin bisa memendam kejengkelan pemakaian kata oknum tapi tidak masyarakat hari ini. Yang lebih sialnya lagi selalu pencegahan koreksi dari rakyat terhadap instansi terkait. Maka viral news adalah kunci bagi rakyat yang kooperatif terhadap pengusutan kasus.

 

Jika kita lihat dalam sejarah Islam pemakaian kata oknum tidak pernah di jumpai. Tradisi Islam secara frontal menyebut nama atau kubu sebagai pengecaman terhadap tindak amoral terhadap rakyat. Sebut saja Hajaj bin Yusuf yang terkenal bengis terhadap rakyat tidak pernah di sebut oknum (شخص) dalam tindakannya. Atau tokoh yang menyeleweng terhadap sunnah seperti Hussain bin Manshur al-Hallaj tidak pernah juga disematkan kata oknum. Atau jika tidak menyebutkan nama maka disebut kelompoknya atau tempat tinggal si pelaku.

 

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau menceritakan,

 

أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟» ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»

 

“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).

 

Dalam tradisi Islam yang vulgar menyebut terhadap pelaku dan kuatnya pembelaan terhadap korban membuat tradisi Islam sangat egaliter. Tidak ada pensucian terhadap instansi jika salah maka sebut dan adili!

 

 

Referensi;

 

– Senno Gumira Adjidarma (2014), di akses 2021, https://majalah.tempo.co/read/bahasa/145407/oknum-dalam-politik-bahasa

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.