Islam Larang Perempuan Jadi Pemimpin. Azyumardi Azra : “Itu bisa diubah, tak apa”

YOGYAKARTA (Jurnalislam.com) – Tokoh liberal Azyumardi Azra mengatakan seorang perempuan bisa diangkat sebagai sultan, karena Islam di Indonesia berbeda dengan di Arab. Menurutnya, kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu kasultanan Islam di Islam. Sesuai tradisi kerajaan Islam yang berkembang di nusantara, seorang perempuan bisa diangkat sebagai sultannya.

“Tak apa-apa sultan perempuan,” kata liberalis yang dilabeli “cendekiawan muslim” itu usai pembukaan Kongres Umat Islam VI di Yogyakarta, Senin (7/2/2015).

Ia melanjutkan bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang rileks, berbeda dengan Islam yang berkembang Arab. Perbedaan corak Islam itu pun juga berdampak pada perbedaan dalam memandang raja perempuan.

“Kalau di Arab, jangankan jadi raja, menyetir mobil saja tidak boleh,” lanjut dia.

Ia mengatakan kasultanan di Nusantara memiliki sejarah adanya sultan yang berasal dari perempuan. Di Kasultanan Aceh pada abad XVII, ia memberi contoh, ada tiga orang perempuan yang menjadi raja, Sultonah. “Kita bukan di Arab,” katanya.

Undang-Undang Keistimewaan DIY mengamanatkan gubernur merupakan Raja Keraton Yogyakarta yang bertahta, Sultan Hamengku Buwono. Ada indikasi dalam undang-undang nomor 13 tahun 2012 itu bahwa seorang sultan harus seorang lelaki. Sepanjang sejarah kasultanan Yogyakarta, dari Hamengku Buwono I hingga X, sultan merupakan seorang lelaki.

Azyumardi mengatakan pada dasarnya Islam nusantara tak menghalangi seorang perempuan menjadi sultan. “(Kalau tidak bisa) mungkin karena aturan kerajaannya. Tapi aturan itu, bisa saja diubah. Tak apa," katanya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin mengatakan keraton Yogyakarta merupakan salah satu kasultanan Islam di Indonesia. Bergelar “Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah” sultan tak hanya merupakan pemimpin politik. Tapi sekaligus pemimpin agama bagi rakyatnya. “Sultan gelarnya luar biasa,” katanya.

Posisi sebagai pemimpin politik sekaligus pemimpin agama itu, menurut dia, tak hanya berlaku di keraton Yogyakarta. Tapi juga di hampir seluruh keraton di Indonesia.

Ally | Tempo | Jurniscom

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses