MAGELANG (Jurnalislam.com) – Terkait renovasi Gereja Kristen Jawa Merbabu di Grabag, Magelang, Jawa Tengah, Forum Umat Islam (FUI) Kedu Raya menggelar mediasi dan negosiasi dengan pejabat terkait di Kecamatan Grabag , Magelang, Jumat (3/6/2016).
Hasilnya, FUI Kedu Raya yang didukung oleh sejumlah ormas Islam Magelang dan DIY menyatakan, akan mengerahkan massa untuk menghentikan proses renovasi Gereja tersebut jika aparat tidak secepatnya menyelesaikan kasus tersebut. Berikut pernyataan sikap selengkapnya:
Pernyataan Umat Islam se-Kedu Raya Mensikapi Renovasi Tanpa Ijin Gereja Kristen Jawa Merbabu Grabag
Setelah melakukan mediasi dan negosiasi dengan pejabat terkait di Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang pada hari Jum’at 3 Juni 2016 di Mapolsek Grabag Magelang, Forum Ukhuwwah Islamiyyah se Kedu Raya bersama dengan FPI Kabupaten Temanggung dan Magelang, Muallaf Center Magelang, Jama’ah Ansharusy Syari’ah Kabupaten Magelang dan Temanggung, Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) Kabupaten Magelang, perwakilan masyarakat Grabag dan perwakilan warga dusun Gowak Grabag menyampaikan pernyataan sebagai berikut :
Kami menghormati datangnya bulan suci Ramadhan sehingga kami akan mengupayakan semaksimal mungkin tidak ada pengerahan massa umat Islam dan laskar ormas Islam untuk menuntut penghentian renovasi gereja Kristen Jawa Merbabu di Grabag Kab Magelang
Namun demikian kami menuntut pihak Muspida Kabupaten Magelang dan pihak-pihak terkait agar jangan menunda-nunda penyelesaian kasus ini. Oleh karena itu secepatnya kami minta agar Bupati atau pejabat berwenang turun ke Grabag berdialog dengan perwakilan umat Islam Kedu yang concern dalam masalah ini
Jika Muspida tidak segera menyelesaikan permasalahan ini, kami umat Islam Kedu dan ormas Islam Se Jateng dan DIY akan melakukan penetrasi dengan mengerahkan massa umat Islam dan laskar Umat Islam se-Jateng dan DIY
SURAKARTA (Jurnalislam.com) – Sebuah salon mesum di Jalan Yos Sudarso dan Kelurahan Serengan, Surakarta digerebek Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), Jumat (3/6/2016). Laskar menjaring sejumlah PSK dan mengamankan sebilah pedang.
Humas LUIS, Endro Sudarsono, S.Pd membenarkan aksi penggerebekan dua salon mesum, yaitu Salon ND dan SPA Seven Queen. Menurutnya, kedua tempat tersebut telah menyalahi aturan izin peruntukkan usaha.
“Saat didatangi Salon ND terdapat 6 wanita yang diduga PSK. Ditemukan beberapa kondom yang sudah terpakai ataupun yang masih utuh. Data yang diperoleh Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) bahwa salon ND memasang tarif Rp 250.000,00 tiap pelayanan salon plus plus,” kata Endro.
Sementara itu, Ketua LUIS, Edi Lukito, SH mengimbau kepada tempat-tempat maksiat lainnya agar menutup usahanya selama bulan Ramadhan. Namun, ia berharap Walikota Solo FX Rudy Hadiyatmo bersikap tegas untuk mencabut ijin keberadaan salon-salon mesum tersebut.
“Alasannya ya karena lokasi ini kan dekat dengan masjid, pusat pendidikan, dan keberadaan tempat ini sebenarnya juga ditolak warga setempat” ucap Edi.
Semua PSK yang terjaring razia beserta barang bukti lainnya akhirnya diamankan Polsekta Serengan.
DEPOK (Jurnalislam.com) – Gerakan Dakwah Komunitas Taqarrub (Garda Kota) menggelar acara Silaturahim Dakwah dalam bingkai Tarhib Ramadhan 1437 H di kampus Hidayatullah Depok, Jl Raya Kalimulya, Cilodong, Jawa Barat.
Garda Kota merupakan program utama Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hidayatullah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (Jabodebek) yang digulirkan pasca Munas IV Hidayatullah 2015 lalu.
Silaturahim yang berlangsung pada Ahad, 22 Sya’ban 1437 (29/05/2016) pagi-siang ini mengusung tema “Menjadi Pemenang di Palagan Ramadhan”. Dihadiri perwakilan Wali Kota Depok yaitu Ir Khamid Wijaya (mantan Kepala Bappeda Kota Depok yang kini sebagai Camat Cilodong).
Hadir pula Ketua Dewan Pertimbangan Pimpinan Umum (DPPU) Hidayatullah Dr Abdul Mannan, MM; Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah Ustadz Nashirul Haq, Lc, MA; Ketua DPW Hidayatullah Jabodebek Ustadz Asdar Majhari Taewang, dan Direktur Utama Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal Hidayatullah (Laznas BMH) Supendi, S.Kom.
Acara di halaman depan Masjid Ummul Quraa ini berlangsung semarak dan penuh nuansa kekeluargaan. Dihadiri sekitar seribu jamaah Hidayatullah termasuk dari Provinsi Banten, Muslimat Hidayatullah (Mushida), serta anak-anak.
Asdar Taewang dalam sambutannya mengatakan, dua fokus utama Hidayatullah yaitu dakwah dan tarbiyah harus terus dijalankan dengan istiqomah.
Ia pun mengimbau para jamaah untuk bergerak dengan “sinergi dan harmoni”. Dalam bersinergi, artinya para jamaah saling merekatkan ukhuwah Islamiyah dalam bingkai ketaatan pada agama melalui lembaga.
Sedangkan “harmoni”, jelas Asdar, artinya para jamaah menjalankan masing-masing fungsinya dengan penuh kesadaran dan kenyamanan. “Kita enjoy dalam berjamaah,” ujarnya dalam pidatonya yang berapi-api.
Merespon Krisis Multi Dimensi
Khamid Wijaya dalam sambutannya mengaku telah lama mengenal Hidayatullah terutama melalui majalahnya, Suara Hidayatullah, semasa kuliah di IPB dulu.
Ia pun sempat menyampaikan kondisi Depok saat ini, yang disebutnya mengalami peningkatan. “Namun bukan berarti Kota Depok bebas dari masalah sosial, ekonomi, budaya, bahkan ekonomi dan politik,” ujarnya pada acara yang disponsori PT Asar Community dan Salwa Donuts ini.
Sementara itu, Dr Abdul Mannan mengatakan, Hidayatullah hadir untuk merespon situasi dan kondisi yang terjadi di dunia khususnya Indonesia saat ini.
Kondisi tersebut, di antara yang ia singgung adalah pertanahan di Indonesia yang mayoritas dikuasai asing. “Delapan puluh persen tanah di Indonesia dikuasai Cina, 20 persennya dikuasai pribumi,” ungkapnya.
Dalam dunia ekonomi, ia mengatakan, saat ini kondisi perekonomian dunia sedang memburuk. “Ini berbahaya,” kata dia.
Dari sisi ideologi, kata Abdul Mannan, Indonesia tengah menghadapi ancaman komunisme. “Bahaya laten komunis,” tegasnya dalam acara yang didukung tim SAR Nasional Hidayatullah ini.
Untuk menghadapi berbagai kondisi tersebut, menurutnya, harus ada regenerasi kader-kader Islam yang lebih baik.
“Yang paling penting dalam mengatasi krisis multi dimensi adalah dengan meningkatkan spiritual,” pesan Ketua Umum Hidayatullah periode 2005-2015 ini.
Pesan Ramadhan Ketua Umum
Ustadz Nashirul dalam pidatonya membawakan tema utama acara tersebut. Dalam menyambut Ramadhan, jelasnya, setidaknya ada empat hal yang perlu dipersiapkan umat Islam.
Pertama, memasang niat agar Ramadhan tahun lebih baik daripada Ramadhan tahun kemarin.
Kedua, memasang motivasi yang kuat dalam menjalankan berbagai ibadah. Jika tidak, ibadah bisa kendur.
Ketiga, jelas Nashirul Haq, meningkatkan ilmu pengetahun. Ini penting. Sebab, jelasnya, dengan ilmu, ibadah dapat dilakukan dengan benar sesuai tuntunan agama.
Ia mengatakan, masih banyak hal-hal sederhana yang belum diketahui masyarakat khususnya terkait Ramadhan.
“Contohnya, ada kebiasaan masyarakat sahurnya jam 2 malam (pagi dinihari. Red). Bahkan jam 01.00,” ungkapnya.
Padahal, berdasarkan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, jelas Nashirul Haq, waktu sahur itu diakhirkan, sedangkan waktu berbuka puasa diawalkan.
Hal keempat yang perlu dipersiapkan setiap Muslim dalam menyambut Ramadhan, jelas alumnus Universitas Islam Madinah ini, adalah memasang visi Ramadhan.
Visi utamanya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, tentu agar menjadi orang-orang yang bertaqwa.
Sementara 3 visi yang disampaikan Nashirul Haq adalah sukses ibadah, sukses tarbiyah, dan sukses dakwah. “Semuanya harus berjalan secara simultan, proporsional,” ujarnya.
Dalam rangkaian acara tersebut, digelar pula peluncuran Tebar 1.000 Dai Ramadhan 1437 H dan peluncuran website www.thr.or.id. Keduanya merupakan di antara program BMH menyambut bulan suci tahun ini.
Di penghujung acara, dilakukan peluncuran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Hidayatullah yang diketuai oleh Dr Dudung Amadung Abdullah, M.Pd.I (Ketua Biro Hukum DPP Hidayatullah sekaligus Ketua STIE Hidayatullah Depok).
Silaturahim dakwah tersebut diramaikan dengan bazar yang menjual berbagai macam produk dan jasa seperti aneka kuliner halal dan sehat, busana Muslim, serta pengobatan. Diramaikan pula dengan arena outbound, penampilan nasyid Sincere Five, layanan kesehatan Islamic Medical Service (IMS) dan Laznas BSM, serta pembagian sembako gratis.
Di sela-sela acara, panitia membagikan sejumlah voucher umrah senilai total Rp 175 juta dari PT Asar Community.
Selain itu, untuk diketahui, DPW Hidayatullah Jabodebek tengah memprogramkan aplikasi cariustadz. Aplikasi ini nanti bisa diakses di antaranya melalui Play Store.
“Ide sederhananya adalah dengan adanya aplikasi cariustadz, diharapkan jamaah dengan mudah mendapatkan akses kepada ustadz. Dan ustadz yang mungkin kesulitan dapat jamaah bisa dapat ‘objek’ dakwah,” jelas Muhammad Isnaini, Sekretaris DPW tersebut.*
Sumber: Siaran Pers Garda Kota Hidayatullah | Editor: Ally Muhammad Abduh
SURAKARTA (Jurnalislam.com) – Warga Laweyan, Solo kembali berunjuk rasa menolak kebijakan Sistem Satu Arah (SSA) Jalan Dr. Rajiman, Senin (30/5/2016) malam. Meski diguyur hujan, mereka tetap melakukan sholat dan do’a bersama sembari menghadang Jalan Dr. Rajiman.
Massa yang berjumlah sekitar 300 orang tersebut datang dan langsung menggelar tikar di tengah jalan untuk segera mendirikan sholat hajat dan do’a yang dipimpin oleh Ustadz Muhammad Ali, pengasuh Ponpes Ta’mirul Islam, Solo.
Ustadz Ali mengatakan, aksi yang ketiga kalinya itu dilakukan karena pihak Pemkot Solo belum memenuhi tuntutan warga Laweyan. Dirinya tidak bisa berbuat banyak selain berdo’a yang menjadi kekuatan dan senjata umat Islam.
“Bapak Ibu sekalian, aksi kita membuat perbaikan, mari kita do’a secara ikhlas, kita tunjukkan bahwa kita muslim umat yang santun dan umat yang baik berakhlaq mulia, takbir! Allahu akhbar!” serunya.
Ustadz Ali pun berdoa meminta kepada Allah SWT untuk mengabulkan tuntutan warga Laweyan yang didzalimi. “Ya Allah engkau yang maha kuasa, angkatlah orang yang berbuat dholim atas kekuasaannya ya Allah! Ya Allah engkau maha mulia, muliakanlah orang yang di dholimi ya Allah” pintanya.
Unjuk rasa warga Laweyan yang dipelopori pengasuh Ponpes Ta’mirul Islam itu pertama kali dilakukan pada hari Kamis (19/5/2016). Mereka menolak pemberlakuan SSA di Jalan Dr Rajiman karena dinilai merugikan warga Laweyan.
Menurut temuan Endro Sudarsono, anggota Tim Pencari Fakta Independen bahwa di jalan Rajiman dalam 30 hari telah terjadi 12 kecelakaan.
“Kepadatan lalulintas di gang kecil justru sekarang jadi ramai, pedagang pasar Kabangan terancam bankrut karena omset penjualan menurun drastis. Keamanan dan keselamatan warga Laweyan semakin terancam,” ujar Endro kepada Jurnalislam, Senin (30/5/2016).
Turut menghadiri ormas Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) Solo, Komunitas Nahi Munkar (KONAS), SAR Jaba Rescue Solo, Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) mendukung aksi warga Laweyan.
SERANG (Jurnalislam.com) – Pengusaha penyedia tempat hiburan di Kota Serang beserta Pemerintah Kota Serang berjanji akan menutup dan memonitor tempat hiburan malam selama bulan Romadhon, penutupan dimulai H-4 pelaksanaan bulan Romadhon.
“Kita (pengusaha hiburan Kota Serang) sudah menyepakati bersama, selama bulan puasa penuh akan tutup,” ungkap Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Entertainment (Aspemen) Kota Serang, Jhonner SP, lansir Radar Banten Online , Senin (30/5/2016).
Jhon menjelaskan, kesepakatan ini sudah beberapa tahun berjalan, bertujuan agar tidak mengganggu aktivitas selama bulan
“Kami tentu akan mengikuti keinginan pemerintah, agar adanya penertiban dan tidak ada aktivitas hiburan selama bulan Romadhon. Kalau masih ada yang buka pada H-2, maka kita melaporkan kepada Satpol PP dan Kepolisian,” kata Jhon.
Walikota Serang, Tb Haerul Jaman dikutip dari bantenraya.com menegaskan, tempat hiburan malam akan dinonaktifkan selama bulan suci Romadhon “Untuk tempat hiburan malam tidak boleh beroperasi selama bulan ramadhan, ” tegas Jaman.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Serang, melalui Sekretaris MUI Kota Serang Amas Tadjuddin memperkuat bahwa semua pihak harus menghormati bulan puasa Ramadhan. Amas melanjutkan penutupan tempat hiburan menjelang dan selama bulan Ramadhan penting dilakukan agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
“Dengan adanya tempat hiburan yang masuk buka, maka masyarakat akan tersinggung lalu menyulut adanya penutupan paksa tempat hiburan, apalagi tempat hiburan di Kota Serang tidak ada yang berizin,” pungkasnya Selasa (24/5/2015).
Reporter: Muhammad Fajar | Editor: Ally Muhammad Abduh
CIREBON (Jurnalislam.com) – Ratusan umat Islam Cirebon menggelar Pawa Targhib Ramadhan bertema “Waspada Kebangkitan Paham Komunis di Indonesia”, Ahad (29/5/2016). Pawai dimulai dari Markaz DPW FPI Cirebon Raya Jalan Fatahillah usai shalat dzuhur dengan rute Markaz FPI Cirebon – Sumber – Kenanga – Plumbon – Plered – Kedawung Tuparev – Attaqwa – JL Cipto (CSB) – Terminal bus Harjamukti – byPass – Pelered – Markaz FPI Cirebon.
Sepanjang jalan, para orator menyampaikan pesan dan imbauan kepada masyarakat terkait bulan Ramadhan dan bahaya paham komunis di Indonesia. Seperti yang disampaikan Abu Usamah, perwakilan Jamaah Ansharusy Syariah, dalam orasinya ia mengimbau umat Islam untuk mewaspadai bersatunya Komunis dan Syiah untuk menghancurkan ahlu sunnah.
“Sesungguhnya umat Islam di Suriah sedang di bantai oleh tiga kelompok penjahat besar sebagai aktor utama dalam membantai umat Islam yaitu kelompok Syi’ah yang dikomandoi oleh Basyar Asaad dan Iran. Kemudian kelompok berikutnya adalah Komunis yang dikomandoi oleh Rusia. Dan yang ketiga kelompok zionis salibis (Yahudi dan Nasrani) yang dikomandoi oleh setan Amerika,” tegasnya.
Ia juga mengimbau umat Islam untuk mempersiapkan diri menyambut bulan suci Ramadhan dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan.
Massa juga mendatangi beberapa tempat hiburan malam di Kota dan Kabupaten Cirebon seperti Diskotik Mithas dan Diva Karaoke di Jalan Tuparev, Fantasy Karaoke Jalan Kartini, Karaoke Wa Ha Haa Area CSB Jalan Cipto dan Panda Karaoke di depan Mapolsek SelTim Cirebon Kota.
Di depan tempat-tempat hiburan itu, perwakilan FPI, Habib Agil bin Muhammad bin Sholeh Al-Habsyi mengimbau agar para pengelola menutup usahanya selama bulan Ramadhan.
“Syukur alhamdulillah jika tutup seterusnya. Hormatilah bulan Ramadhan, jangan sampai dikotori oleh perbuatan-perbuatan kemungkaran,” ujarnya.
Ia mengancam akan menindak tegas tempat-tempat tersebut jika pengelola bersikeras membuka usahanya pada bulan Ramadhan.
“Jika kalian buka, maka jangan salahkan kami jika kami bertindak tegas kepada kalian dan kami akan tutup karoke kalian,” tegasnya di depan para pengelola dan aparat pemerintah kota Cirebon.
Selain itu, massa juga menyampaikan penolakkannya terhadap konser anaknya Ahmad Dhani yang akan digelar di Mithas. “Kami FPI dan ALMANAR menolak dengan sangat keras konser anaknya Ahmad Dani di Mithas. Karena acara tersebut mengundang kemungkaran dan waktunya berdekatan dengan bulan suci Ramadhan,” kecamnya.
Pawai tersebut diikuti berbagai Ormas Islam seperti: FPI, FORIS (forum remaja Islam) dan Aliansi Masyarakat Nahi Mungkar (ALMANAR) yang terdiri dari: Jama’ah Ansharusy Syari’ah Pantura, Majelis Mujahidin, GARDAH (Pagar Aqidah), GAPAZ, FKAM, Gerakan Muslim Cirebon dan Remaja Masjid Kota dan Kabupaten.
JEMBER (Jurnalislam.com) – Laskar Islam Jember (LIJ) menggelar saresehan bertajuk “Agar Nahi Munkar Gak Dituduh Berbuat Onar” di Masjid Al Mubarok Jl Bangka VIII/ 23 Sumbersari, Jember, Ahad (29/5/2016). Sarasehan yang dipandu Budi Eko dari Jamaah Ansharusy Syariah Mudiriyah Jember menghadirkan pembicara Lutfian Ubaidillah, MH selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember.
“Kita amat prihatin dengan maraknya kemaksiatan akhir-akhir ini, miras yang dilegalkan, penyimpangan dan pelecehan seksual juga merajalela. Itulah yang menjadi motivasi terselenggaranya acara ini. Semoga kita bisa berdiskusi dan member solusi,” ucap Budi membuka acara.
Sejumlah perwakilan ormas Islam yang hadir antusias menyimak pemaparan pemateri tentang urgensi nahi munkar dan kedudukan ormas islam dalam bernahi munkar dalam perspektif hukum di Indonesia.
“Keberadaan ormas, termasuk ormas Islam itu diatur dan dilindungi pemerintah. Keberadaanya patut diberdayakan agar bisa berjalan sesuai fungsinya yang meliputi pelayanan, pelestarian dan penjagaan,” papar Lutfian yang juga sebagai advokat dan konsultan hukum itu.
Oleh karena itu, menurut dia, keberadaan ormas Islam masih sangat dibutuhkan dalam mewujudkan ketentraman di masyarakat.
“Guna mewujudkan perannya, ormas Islam perlu membangun hubungan kerja sama dengan berbagai pihak termasuk masyarakat sekitarnya, sehingga terbangunlah kesan positif bahwa ormas bukan pelaku separatisme dan anarkisme,” pungkasnya.
Kontributor: Abu Nashrulloh | Editor: Ally Muhammad Abduh
“Sejak itu ia merasa bahwa apa yang dinamai kehormatan tidak ada samasekali di dalam tubuhnya yang telah hancur itu. Cita-citanya untuk meluruskan jalannnya sendiri kini telah padam. Ah, asal ada saja orang yang bisa memberinya barang seringgit sehari ia sanggup mengerjakan segala-galanya yang sebanding dengan tenaga dan kebiasaannya.” – Berita Dari Kemayoran (Pramoedya Ananta Toer)[1]
Kisah tadi adalah sepenggal paragraf dari sebuah karya tentang pelacur di Jakarta. Kisah itu mungkin fiksi, tetapi menggambarkan dengan jelas kehidupan masyarakat di Jakarta tahun 50-an. Pelacur, yang menurut sebagian orang profesi tertua, – entah benar atau tidak-, yang jelas sudah menjadi masalah di masyarakat sejak lama, termasuk di Indonesia.
Setidaknya sejak tahun 1650 di nusantara telah ada upaya-upaya untuk mengatasi pelacuran.Bagaimanapun pelacuran lebih lekat dengan pembahasan era kolonialisme ketimbang masa sebelum kolonialisme. Pemerintah kolonial kala itu mendirikan sebuah tempat ‘rehabilitasi’ untuk pelaku prostitusi, tujuannya untuk ketertiban umum. 116 tahun kemudian, pemerintah kolonial memberlakukan pelarangan bagi pelacur untuk memasuki dermaga tanpa izin. Peraturan ini secara tidak langsung mengakui kegagalan ‘rehabilitasi ‘ sekaligus pintu masuk untuk mentolerir prostitusi.[2]
Hal ini terlihat ketika tahun 1852, pemerintah kolonial mengesahkan peraturan baru yang melegalkan prostitusi, yang disertai dengan beberapa pembatasan. Peraturan ini meregistrasi para pelacur dan mewajibkan mereka untuk diperiksa kesehatannya seminggu sekali untuk mendeteksi penyakit sipilis dan penyakit menular lainnya. Jika terdeteksi mengidap penyakit, maka mereka akan di isolasi dan dirawat di sebuah institusi yang disebutInrigting voor zieke publieke vrouwmen. Untuk memudahkan penertiban, maka para pelacur didorong untuk beroperasi di rumah bordil. Di Surabaya misalnya, tiga kampung dijadikan lokalisasi prostitusi. Pemerintah daerah berusaha mencatat para pelacur dan mengecek secara berkala kesehatan mereka. Nyatanya lokalisasi pun tak mampu menahan gempuran praktek prostitusi diberbagai wilayah lain. Peraturan ini diberlakukan di seluruh Jawa. Namun pada kenyatannya realisasi dilapangan tak sesuai harapan.[3]
Peraturan ini sempat direvisi enam tahun kemudian, karena pemerintah menolak untuk dianggap melegitimasi rumah bordil. Namun hal ini tak berarti banyak dibandingkan dengan hadirnya peraturan baru 20 tahun kemudian. Tahun 1874, pengawasan rumah bordil di serahkan kepada pemerintah daerah. Baik tanggung jawab ada dipundak pemerintah pusat maupun daerah, nyatanya upaya pemerintah untuk mengendalikan prostitusi menjumpai kegagalan.
Membanjirnya prostitusi di Hindia Belanda (Indonesia) di abad ke 18 hingga abad 19 adalah buah dari masuknya gelombang pegawai pemerintahan penjajah, baik militer maupun pegawai administratif ke Hindia Belanda. Awalnya, di abad ke 17, para pegawai VOC mulai berdatangan ke Nusantara. kebutuhan untuk berhubungan dengan perempuan memaksa mereka untuk mendatangkan perempuan eropa ke Hindia Belanda untuk dijadikan istri. Namun kebijakan ini tak berjalan mulus, selain berbiaya besar, kehadiran perempuan ‘impor’ ini tak sebanding dengan jumlah pria yang ada.[4] Para pegawai VOC yang tanpa pasangan ini, sebagian memilih gundik pribumi, sebagian lain memilih untuk menyalurkan hawa nafsu mereka ke prostitusi ketimbang menikahi perempuan lokal. Memang ada sebagian yang memilih untuk menikahi perempuan pribumi. Namun kala itu memiliki pasangan perempuan orang pribumi dianggap tidak pantas bagi orang Belanda. Maka para prostitusi menjadi lahan yang subur.[5]
Pelacur di sekitar rel kereta api di Jakarta. Sumber foto: KITVL Digital Media Library (http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced/start/4?q_searchfield=prostitution)
Perkembangan ekonomi di Hindia Belanda juga menjadi salah satu faktor bertambahnya prostitusi di tanah air. Setelah tahun 1870, perekonomian yang terbuka bagi swasta di Hindia Belanda menggerakan perekonomian kolonial. Perekonomian yang tumbuh menyisakan masalah sosial. Para pekerja perkebunan, kuli-kuli yang jauh dari keluarga mencari penyaluran hasrat seksual mereka dengan mendatangi para pelacur disekitar pusat-pusat kegiatan tadi. Wilayah-wilayah yang terhubung dengan jaringan kereta api, menambah lalu lalang manusia berpindah dari suatu wilayah ke wilayah lain. Di sepanjang jalur rel kereta api tumbuh subur praktek pelacuran. Di Batavia, tahun 1906, Residen melaporkan pertumbuhan prostitusi . Bogor, CIanjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta pun tak terlewatkan oleh praktek pelacuran merebak.[6]
Di kota dengan pelabuhan, seperti di Surabaya, kapal-kapal yang merapat dihampiri para pelacur menggunakan perahu-perahu. Anak Buah Kapal turun ke darat setelah berlayar sekian lama, mendatangi para pelacur untuk menyalurkan hawa nafsu mereka. Bahkan karena lazimnya, Perusahaan Pelayaran mengizinkan para pelacur untuk naik ke kapal, agar lebih mudah untuk diawasi.[7]
Di kalangan lebih mapan, para manajer dan penyelia berkebangsaan Belanda mengunjungi pelacur di wilayah Jawa Barat, seperti Bandung, Subang, Garut dan lainnya. Kalangan tionghoa pun mengunjungi rumah bordil yang menyediakan para perempuan tionghoa.[8] Lokalisasi nyatanya memang tak mampu membendung praktek pelacuran, karena tiap kelas sosial di masyarakat memiliki tujuan lokasi prostitusi yang berbeda-beda. Pelacur membanjiri jalan-jalan di kota dengan praktek prostitusi jalanan.
Upaya-upaya pemerintah berkaitan dengan pengendalian penyakit menular seksual tak memenuhi harapan. Selain faktor kurangnya tenaga kerja, hanya sedikit pelacur yang terdaftar. Model kebijakan pemerintah kolonial terhadap prositusi pun berubah. Peraturan yang diberlakukan pada 1913 di Hindia Belanda melarang pihak yang memfasilitasi segala bentuk pelacuran, termasuk dihilangkannya kegiatan pemeriksaan kepada para pelacur, sejak dua tahun sebelumnya.[9]
Merebaknya pelacuran bukan tak dapat kecaman dan penolakan dari masyarakat. Tahun 1912, Dr Tjipto Mangunkusumo, yang dikenal sebagai seorang dokter dan tokoh Nasionalis terlibat kampanye anti prostitusi.[10] Kampanye-kampanye anti prostitusi juga digerakkan oleh berbagai elemen nasionalis lainnya. Namun tak ada yang menolak prostitusi segencar Sarekat Islam.[11]
Sarekat Islam turun langsung ke masyarakat, lewat pembentukan masyarakat anti prostitusi yang bernamaMadjoe-Kemoeliaan, yang didirikan di Bandung. Dalam sebuah pertemuan tanggal 30 April 1914,yang dihadiri 600 orang, sebagian besar diantaranya perempuan, Madjoe-Kemoeliaan dibentuk. Dalam pertemuan tersebut, seorang ibu rumah tangga bernama Djarijah mengatakan, wanita seperti bunga; ketika dia cantik, semua orang menginginkannya, tetapi setelahnya dia harus datang ke jalan-jalan. Menghadapi persoalan ini dia mengusulkan wanita harus diajarkan untuk memiliki penghasilan. Melalui berbagai surat kabarnya, Sarekat Islam menggelorakan penolakan praktek prostitusi. Sarekat Islam mendesak adanya pendidikan yang lebih baik untuk para pemuda sehingga mereka akan melihat keburukan menggunakan pelacur. Bagi para wanita muda didorong untuk memiliki beberapa alternatif untuk mencari nafkah. Bahkan mewakilili organisasi-organisasi di Indonesia, promosi kerajinan tangan bagi perempuan diusulkan sebagai alternatif mata pencaharian.[12]
Tak hanya di Jawa, di Sumatera Barat, Organisasi Islam PERTI saat kongresnya tahun 1939 di Bukit Tinggi, menyerukan peraturan untuk mengatasi masalah prostitusi. Di hadapan 2000 anggotanya, Dr. Rasjidin menjelaskan akibat mengerikan dari sipilis, gonorea dan gangguan mental, yang dia sebut berasal dari industri seks.[13]
Tekanan-tekanan dari Sarekat Islam dan beberapa gerakan nasionalis lainnya memang mampu memaksa pemerintah kolonial untuk membuat peraturan yang akhirnya melarang praktek prostitusi. Rumah-rumah bordil ditutup, pelacur yang beroperasi dijalanan dikenakan denda. Namun tindakan sebatas pelarangan ini memang tak mampu menghentikan laju bisnis hawa nafsu ini, terutama di kota-kota besar. Tahun 1941, di penghujung kekuasaan Belanda, Di kota-kota besar diperkirakan 15% dari populasi terkena penyakit kelamin.[14]
Peralihan penguasa, dari Belanda ke Jepang tak ada artinya untuk meredam praktek prostitusi. Malah semakin suram. Jepang menginjak-injak harga diri perempuan di Indonesia dengan perbudakan seks. Sebuah potret buram dan kekeliruan dalam mencari solusi prostitusi secara menyedihkan terbaca dari kisah Sukarno kepada Cindy Adams dalam bukunya ‘Penyambung Lidah Rakyat. ”Kemudian kubentangkan rencana itu. “Semata-mata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anak-anak gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saya bermaksud hendak menggunakan layanan dari para pelacur di daerah ini. Dengan demikian orang-orang asing itu dapat memuaskan hatinya dan tidak akan menoleh untuk merusak anak gadis kita.” “Kukumpulkanlah 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilubangi. Barangkali cerita ini tidak begitu baik untuk dikisahkan. Maksudku, mungkin nampaknya tidak baik bagi seorang pemimpin dari suatu bangsa untuk menyerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu perkataan untuk memberi nama jenis manusia seperti itu. Akan tetapi persoalannya sungguh-sungguh gawat ketika itu, yang dapat membangkitkan bencana yang hebat. Karena itu aku mengobatinya dengan cara yang kutahu paling baik. Hasilnyapun sangat baik, kutambahkan keterangan ini dengan senang hati. Setiap orang senang sekali dengan rencana itu”[15]
Nyatanya kita tahu, lokalisasi di barak ala Sukarno tadi tak berhasil menahan hawa nafsu prajurit Jepang. Malah semakin menjadi dengan memperdayai para perempuan di tanah air. Dikatakan akan disekolahkan, atau diberi pekerjaan. Namun yang mereka dapatkan adalah menjadi budak nafsu para tentara Jepang. [16] Dibawah pendudukan Jepang, namun praktek prostitusi tetap tumbuh subur. Hal ini terjadi karena penjajah Jepang malah tak melarang praktek tersebut.
Dongeng Kramat Tunggak
Kemerdekaan Indonesia tidak mengubah persoalan prostitusi di Indonesia. Tahun 1954, Dada Meuraxa, seorang penulis dari Medan, menulis sebuah buku berjudul Pelatjuran di Abad Modern. Ia mengisahkan perjalanannya ke Pulau Jawa. Di Jakarta, tepatnya di Tanjung Priok, ia mengisahkan, “Mula2 kita mendjedakkan kaki di Tanjung Priok, hari agak sore, maka di warung2, kedai2 dan loring2 dalam, mulai sendja itu sampai djauh tengah malam, djuga pada tempat-tempat gelap, jang terlindung kita lihat banjak perempuan2 berdiri dengan laki2 jang inginkan pekerdjaan itu. Pekerdjaan mereka itu ialah sedang bertawar-tawaran beberapa harganja, sebagai mendjual ikan asin sadja. Bila ada jang melintas lantas perempuan2 itu menegor: Ajoh mas………mampir bung d.l.l Di gang2 jang sempit dan tengik itu jang terdapat banjak sekali disekitar pelabuhan Tandjung Priok itu, disanalah beberapa ribu manusia melatjurkan dirinja, tjari makan dan melepaskan sjahwatnya.”[17]
Presiden Sukarno kala itu sebenarnya turut berupaya memberantas prostitusi. Menurut Drs. Weners dari Kementerian Sosial, setidaknya ada 20 ribu pelacur di Jakarta kala itu. Mulai dari tarif lima rupiah sampai seratus rupiah. Sukarno sendiri sebagai Presiden saat itu, memerintahkan penempelan gambar-gambar yang memperlihatkan akibat dari penyakit kelamin. Bahkan ada polisi susila (Zeden Polisi) yang merazia para pelacur. Namun hal ini tak berdampak maksimal, lepas dari pengamatan, maka pelacuran kembali merebak. Bahkan pelacuran sampai terlihat di depan Istana, di lapangan Gambir. Di Jakarta, Dada meuraxa menyebut Gang Houber dan Kaligotnja sebagai tempat paling kesohor soal pelacuran. Di Yogyakarta, yang dikenal adalah Balokan. Tak ketinggalan kota-kota lain seperti Bandung, Solo dan Semarang.[18]
Di kota Medan, pelacuran juga hinggap. Para pelacur berkumpul di depan hotel-hotel. Masyarakat Medan kemudian membentuk Badan Pembenteras Kemaksiatan yang dipimpin tokoh-tokoh masyarakat. Sejak terbentuk tahun 1951 hingga Mei 1953, badan ini berhasil melakukan upaya-upaya seperti menempatkan pelacur diasrama untuk kemudian dikembalikan ke keluarga, atau dinikahkan. Ada pula yang diberikan pekerjaan. Namun tak sedikit pelacur itu yang melarikan diri.
Keprihatinan akan pelacuran membuat seorang penulis dalam Majalah Lukisan Dunia, tahun 1950 menuliskan soal pelacuran ini. Penulis bernama M. Nast itu mengusulkan beberapa tindakan untuk memberantas pelacuran, seperti,
1. Melarang pertundjukan film2 dan musik jang membangkitkan nafsu berahi (erotis)
2. Menghapuskan tempat2 hiburan seperti dancing hall, restaurant, pakai pelajan wanita, taman2 sari tjumbuan d.l.l
3. Membasmi pendjualan buku2 tjabul
4. Menuntut hukuman bagi laki2 perempuan jang melakukan zina.[19]
Dada Meuraxa sendiri dibagian akhir buku Pelatjuran di Abad Modern tersebut menyatakan hanya kembali ke agama-lah sebagai satu-satunya jalan keselamatan dari wabah prostitusi ini. Namun tampaknya jalan tersebut tidak ditempuh bangsa ini. Tahun-tahun berikutnya pemerintah malah melakukan kebijakan lokalisasi di beberapa daerah.
Di Surakarta, tahun 1961, di Kampung Silir ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi. Dolly di Surabaya, Komplek Sunan Kuning di Semarang, Kalisari di Malang menjadi tempat-tempat yang di tetapkan sebagai lokalisasi. Berbagai rencana, seperti registrasi pelacur, pemeriksaan, hingga balai pelatihan bagi pelacur, agar siap ketika kembali ke masyarakat di cetuskan. [20] Namun yang tetap hangat dibicarakan hingga kini adalah Kramat Tunggak. Terletak di Jakarta, dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok, posisi Kramat Tunggak sebagai lokalisasi menarik untuk ditilik lebih mendalam, selain karena kedudukannya di Ibukota, Kramat Tunggak juga mengundang kontroversi.
Kontroversi merebak ketika Gubernur DKI, Ali Sadikin menetapkan kebijakan lokalisasi prostitusi dalam suatu wilayah, yaitu Kramat Tunggak. Ali Sadikin yang menjabat menjadi Gubernur DKI sejak 1966, beralasan bahwa, “Waktu itu pun saya akui, bahwa pemberantasan pelacuran memang masalah yang sangat sulit. Pekerjaan itu sudah merupakan mata pencaharian mereka. Tapi Pemda DKI tidak dapat membenarkan atau mendiamkan saja perbuatan yang asosial itu dilakukan di tempat-tempat ramai, ditempat-tempat terbuka. “[21]
Bagi Ali Sadikin mustahil untuk menghentikan para pelacur begitu saja. Karena persoalan ini berkaitan dengan pekerjaan dan uang. “Orang berkata, wanita ‘P’ (maksudnya Pelacur) itu harus ditampung dan disalurkan ke berbagai proyek setelah diindoktrinasi. Saya tidak sepaham dengan jalan pikiran itu. Karena jumlahnya puluhan ribu, sementara penganggur pun tidak sedikit jumlahnya. Di samping itu, wanita-wanita ‘P’ itu sudah keenakan dengan pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan duit. Pemecahannya, saya pilih melokalisasi mereka.”[22]
Ali Sadikin memilih lokalisasi setelah melakukan perbandingan dengan industri seks yang dilokalisasi di Bangkok. Semangat awalnya memang masalah penertiban, meski diiringi oleh alasan persoalan pengendalian penyakit menular akibat prostitusi. Maka sejak saat tahun 1970, Jakarta mulai melokalisasi prostitusi di kawasan Kramat Tunggak, dan melarang praktek prostitusi di wilayah lain di Jakarta.[23]
Teorinya, para pelacur yang beroperasi di Kramat Tunggak direncanakan hanya sementara, sambil direhabilitasi, mendapatkan pelatihan. Kehadiran mereka maksimal hanya lima tahun atau maksimal usia 35 tahun (dan minimal 17 tahun untuk dapat diterima di lokasi itu). Pemeriksaan kesehatan berkala juga menjadi salah satu tujuan adanya lokalisasi tersebut.[24]
Kenyataan memang tak seindah teorinya. Di Kramat Tunggak, ketika tempat itu baru dibuka, terdapat 1668 pelacur dan 348 germo. Namun pada awal tahun 1990-an, Kramat Tunggak sudah disesaki 2000 pelacur dan 230 germo. Rehabilitasi yang diharapkan pun tak berjalan mulus, karena meski menurut laporan, setiap tahunnya Kramat Tunggak ‘meluluskan’ sekitar 600 pelacur, namun sebagian pelacur ini hanya berpindah tempat saja. Mereka pindah ke daerah-daerah lain yang mampu menampung mereka.[25]
Lokalisasi yang digaung-gaungkan agar mengurung praktek prostitusi pun gagal. Di Jakarta tetap bermunculan tempat-tempat prostitusi illegal dalam berbagai rupa. Di daerah Harmoni-Kota bermunculan prostitusi dengan berbagai kedok. Bahkan muncul pula di daerah Kalijodo, prostitusi dengan segmen menengah bawah, seperti halnya Kramat Tunggak. Prostitusi kelas atas selain di Harmoni-Kota, muncul pula di daerah blok P, Jakarta Selatan.[26]
Soal pengendalian masalah kesehatan seperti yang seringkali digaungkan oleh pendukung lokalisasi, juga tak bisa diharapkan. Hal ini terlihat misalnya dari Kramat Tunggak. Pemakaian kondom, yang seringkali dijadikan jalan keluar untuk mengatasi penyakit menular seperti HIV-Aids, tak menemui hasil yang diharapkan. Pada tahun 1995, Endang Sedyaningsih melakukan survey pemakain kondom di Kramat Tunggak. Tingkat pemakaian kondom hanya berkisar separuh dari kegiatan seksual yang terjadi. [27]
Pemakaian kondom yang berlanjut memang tampaknya sulit. Hal ini diperkirakan terjadi karena posisi pelacur yang tak mampu untuk memiliki posisi tawar dihadapan para ‘tamu’ mereka. Tak semua ‘tamu’ mau untuk memakai kondom tersebut. Faktor persaingan menjadi factor penting. Persaingan begitu ketat, membuat pelacur tak ingin tamu mereka berpaling. Lagipula, pemakaian kondom adalah persoalan yang amat ‘pribadi,’ yang sulit untuk diawasi.[28] Dan terlepas semua hal itu, efektivitas kondom untuk mencegah virus HIV sendiri masih menjadi kontroversi. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dadang Hawari, menyatakan kondom telah gagal untuk melindungi dari virus HIV.[29]
Kegagalan-kegagalan yang dialami oleh Kramat Tunggak, dan tampaknya berbagai lokalisasi lain di Indonesia, mulai dari gagal untuk melokalisir prostitusi, hingga sulit untuk mencapai target pengendalian masalah kesehatan, tampaknya tak juga menjadi pelajaran bagi sebagian kalangan di Indonesia, yang tetap menyuarakan lokalisasi, bahkan hingga saat ini.
Moh. Roem, seorang tokoh Masyumi pernah menyatakan dalam majalah Serial Media Dakwah tahun 1980, bahwa, prostitusi bukanlah profesi, tetapi agresi terhadap perempuan. “Prostitusi ada yang menamakan profesi, yang tertua di dunia. Akan tetapi: berlainan sekali dengan lain-lain profesi tidak pernah ada seorang wanita yang menjadi pelacur karena suka dan cinta kepada profesi itu. Seorang wanita jatuh menjadi pelacur, karena tekanan ekonomi, karena ditipu, karena sakit hati. Dan proses itu berlangsung lambat, selangkah demi selangkah dengan penolakan dari si korban tapi penolakan yang tiap kali gagal, karena kelemahan ekonomi, jiwa atau kemauan dan akhirnya tidak dapat kembali lagi, karena sudah terlanjur.”
“Maka prostitusi adalah tantangan keadaan yang menimpa seorang perempuan. Tantangan yang mengancam kepribadiannya, moralitasnya, kesehatannya, hari tuanya dan sebagainya. Tantangan yang begitu hebat, yang sifatnya sudah merupakan agresi terhadap diri seorang perempuan.”[30]
Para perempuan yang terjerembab dalam prostitusi, umumnya bertolak dari masalah kesulitan ekonomi.[31] Pengangguran dan kemiskinan akan terus menghasilkan suplai pelacur yang tanpa henti bagi dunia prostitusi. Bahkan hal ini juga menciptakan wabah perdagangan manusia termasuk anak, yang semakin mengerikan. Suplai (pelacur) yang berlebihan akibat kesulitan ekonomi, mengakibatkan para pelacur tentu saja dalam posisi yang lemah dihadapan para pelaku perdagangan manusia dan para pria hidung belang.
Suplai pelacur dengan harga murah semakin membanjiri dunia prostitusi akibat kemiskinan yang terus mendera Indonesia. Dalam dunia prostitusi sendiri, perempuan yang dicari semakin muda, bahkan hingga anak-anak. Dengan suplai yang membanjir, akan terbuka pintu perdagangan manusia yang tak henti-hentinya. Lokalisasi dan segala perangkat aturannya, tak ada artinya, dengan kehadiran para pelacur yang saling bersaing dan dalam posisi yang lemah. Amat penting untuk memahami cara bekerja industri prostitusi ini, agar tidak terjebak pada solusi semu semacam lokalisasi.
Seringkali lokalisasi dianggap sebagai solusi. Dikatakan, lokalisasi lebih baik daripada prostitusi jalanan yang kejam dan tak bisa diawasi. Nyatanya, dari zaman kolonial, hingga Kramat Tunggak, bahkan hingga saat ini, lokalisasi kerap terjerembab dalam lembah kegagalan. Prositusi jalanan tetap berkibar di tempat lain, meski telah hadir lokalisasi. Kegagalan demi kegaglan menghampiri, baik soal pembatasan wilayah prostitusi, hingga soal pengendalian masalah kesehatan. Sudi kiranya kita tengok sejenak sebuah contoh kegagalan legalisasi prostitusi di masa kini, yaitu di Jerman.
Tahun 2001, parlemen Jerman dengan dukungan Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau meloloskan undang-undang prostitusi, yang bertujuan agar prostitusi bisa sejajar dengan profesi lain seperti dokter, teller dan sebagainya. Harapan pendukung UU tersebut, para pelacur dapat memiliki lingkungan pekerjaan yang kondusif, dengan perlindungan asuransi, program pensiun dan lainnya. Tentu saja diharapkan juga pajak yang menjadi pemasukan negara. Menurut mereka, dengan melegalisasi prostitusi, maka perempuan akan teremansipasi. Namun hal ini hanyalah impian semata. Perempuan (pelacur) semakin tertindas dengan legalisasi ini. Perdagangan manusia meningkat, khususnya perempuan-perempuan dari negara miskin di Eropa Timur, termasuk Rumania. Jejaring mafia menjadi perangkap bagi para perempuan.[32]
Berpaling ke Swedia?
Kegagalan legalisasi di Jerman, membuat beberapa pihak di sana mulai menyuarakan Jerman untuk berpaling ke Swedia dalam hal penanganan prostitusi. Swedia memang menjadi contoh bagi beberapa negara lain terkait kebijakan prostitusi. Negara-negara seperti Finlandia dan Norwegia mulai menerapkan kebijakan ala Swedia, yang disesuaikan dengan negara masing-masing.
Pada 1 Januari 1999, Swedia menerapkan UU yang melarang orang membeli jasa layanan seksual. Setiap pria yang membeli (jasa seks) dari perempuan (atau laki-laki) akan dikenakan hukuman. UU ini hanya menghukum si pembeli (buyer), bukan yang menjual. Jadi dalam tindak prostitusi, pelacur tidak dihukum, tetapi diberikan konseling, pendidikan dan pelatihan kerja agar dapat terlepas dari situasi prostitusi. [33]
Tahun 1999 diperkirakan 125.000 pria membeli (jasa seks) 2500 pelacur (650 diantaranya pelacur jalanan). Tahun 2004, prostitusi berkurang 30-50%. Perempuan baru yang menjadi pelacur, berkurang separuhnya. Hal ini tentu sebuah prestasi, dibandingkan negara lain, jumlah pelacurnya yang cenderung meningkat. Bahkan tingkat perdagangan manusia, terutama dari Eropa Timur ke Swedia cenderung konstan, berbanding terbalik dengan negara-negara lain seperti Denmark yang terus meningkat.[34]
Satu hal yang perlu ditekankan adalah, metode Swedia untuk memerangi prostitusi dengan mengesampingkan lokalisasi dan melarang prostitusi dengan menghukum pembeli (buyer), adalah satu bukti nyata, masih ada cara lain selain lokalisasi. Orang-orang yang kerap menyuarakan lokalisasi karena menghindari prostitusi jalanan, sebaiknya tak menutup mata terhadap metode Swedia dalam hal ini. Mereka memerangi prostitusi yang terbukti mengurangi secara drastis prostitusi, termasuk prostitusi jalanan.
Swedia sebagai negara sekuler menerapkan kebijakan ini, bertolak dari upaya mencapai kesetaraan gender. Suatu titik tolak yang berbeda dari kita di Indonesia. Indonesia sebagai Negara Berketuhanan Yang Maha Esa, tentu memandang prostitusi sebagai perbuatan nista, pelacur sebagai profesi amoral. Namun metode yang diterapkan Swedia untuk menghukum pembeli (buyer) perlu kita pertimbangkan, mengingat KUHP di Indonesia masih belum menghukum pembeli (buyer). Dengan menghukum pembeli, maka kita dapat berupaya memutus rantai permintaan (demand) terhadap prostitusi. Dengan memutus permintaan (demand), suplai yang banyak pun bisa tak berarti lagi. Adalah sia-sia jika kerap (berusaha) memutus suplai yang melimpah tapi tak mematikan permintaannya.
Persoalan prostitusi memang bukan hal mudah. Ada banyak faktor yang turut berperan di dalamnya. Seperti pemahaman agama. Kenyataannya pemahaman (dan ketaatan) terhadap agama berperan dalam menghentikan orang terjerumus prostitusi.[35] Pemahaman yang baik mengenai sebuah institusi bernama pernikahan penting bagi masyarakat. Ulama-ulama agar dapat lebih merasuk ke daerah-daerah rawan penyedia pelacur. Sebuah contoh kasus, seperti misalnya, di sebuah daerah di Jawa Barat, yang sebagian masyarakatnya, memaklumi ‘profesi’ pelacur. Orang tua menyerahkan anak gadisnya dengan sukarela untuk menjadi pelacur kepada para makelar prostitusi.[36] Faktornya tidak sebatas ekonomi, tetapi juga gaya hidup sebagian masyarakatnya. Belum lagi faktor pendorong seperti pornografi yang semakin beredar luas di masyarakat.
Faktor ekonomi memang menjadi fakor pendorong terbesar dalam mendorong perempuan untuk menjadi pelacur. Selama faktor ekonomi, kurangnya lapangan pekerjaan (di daerah), ketimpangan ekonomi tak dibenahi, akan semakin sulit memerangi prostitusi. Meski demikian, lokalisasi bukanlah jalan keluar. Kegagalannnya sudah terbukti berkali-kali. Namun solusi melarang prostitusi tanpa pengembangan metode pun adalah sebuah upaya yang cenderung sia-sia.
Dunia prositusi semakin berkembang pesat. Prostitusi online adalah sebuah fenomena baru yang nyata di depan (layar monitor) kita. Sebuah penelitan menyebutkan, prostitusi online memiliki aspek yang berbeda dari prostitusi konvensional. Ada argumen prostitusi online perlahan menggantikan prostitusi jalanan, namun ia tak menggantikan prostitusi yang terorganisir.[37] Sebuah tantangan yang tak bisa diselesaikan dengan cara-cara kuno, seperti lokalisasi.
Terlepas dari berbagai argumen yang berkembang di masyarakat, penting bagi kita untuk memahami, apa pun metode yang digunakan untuk memerangi prostitusi bukan bertolak dari pengendalian kesehatan atau ketertiban sosial, tetapi harus bertolak pencegahan terhadap pelanggaran nilai-nilai agama, karena Indonesia Negara berdasar Ketuhanan, bukan kesetanan.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa
________________________________________
[1] Toer, Pramoedya Ananta. 2002. Cerita dari Jakarta. Jakarta: Hasta Mitra
[2] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999. Prostitution in Indonesia: Its History and Evolution. Jakarta: Sinar Harapan
[3] Ibid
[4] Taylor, Jean Gelman. 2009. The Social World of Batavia: European and Eurasians in Colonial Indonesia. Wisconsin: The University of Wisconsin Press.
[5] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999.
[6] Ingleson, John. 2004. Prostitusi di Kolonial Jawa dalam Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Depok: Komunitas Bambu
[7] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999.
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ingleson, John. 2004.
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999.
[14] Ingleson, John. 2004.
[15] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999. Dan Adams, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
[16] Toer, Ananta Pramoedya. 2001. Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[17] Meuraxa, Dada. 1954. Pelatjuran di Abad Modern. Medan: Pustaka Pergaulan.
[18] Ibid
[19] Ibid, Usul-usul ini tidak penulis tuliskan secara lengkap dan berurutan.
[20] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999
[21] K.H, Ramadhan. 1992. Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977. Jakarta: Sinar Harapan
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Mamahit, Endang Sedyaningsih, Steven Gortmaker. 2003. Reporducibility and Validity of Self Reported
Condom Use in Jakarta. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine & Public Health. Vol 34 No. 1,
March 2003.
[28] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999
[29] Kondom Telah Gagal. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/06/27/m69pfd-kondom-telah-gagal. Diunduh pada 9 Mei 2015.
[30] Roem, Mohammad. 1980. Prostitusi Bukan Profei Melainkan Agresi. Serial Media Dakwah No. 79. November 1980.
[31] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999
[32] Unprotected: How Legalizing Prostitution Has Failed. Der Spiegel. 30 Mei 2013. http://www.spiegel.de/international/germany/human-trafficking-persists-despite-legality-of-prostitution-in-germany-a-902533.html. diunduh pada 9 Mei 2015.
[33] Ekberg, Gunilla. The Swedish Law That Prohibits The Purchase of A Sexual Service: Best Practices for Prevention of Prostitution and Trafficking in Human Beings. Journal Violence Against Woman. 2004. 10: 1187-1218. Sage Publications, United States: 2004)
[34] Ibid
[35] Hall, Terrence, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1999.
[36] Girls for Sale: Indramayu’s Prostitution Production Line.13 Maret 2015. http://www.theage.com.au/good-weekend/girls-for-sale-indramayus-prostitution-production-line-20150313-13m8o9.html. diunduh pada 9 Mei 2015
[37] Cunningham, Scott & Todd B. Kendall. Prostitution 2.0: The Changing Face of Sex Work. Journal of Urban Economics. Vol. 69. No. 3. May 2011.
Tulisan ini adalah sebuah cuplikan peristiwa disepenggal masa kolonial. Ketika, penyimpangan seksual, yaitu homoseksual, mendera bagian di Hindia Belanda, yaitu Pulau Bali dan Jawa. Praktik homoseksual di Hindia Belanda saat itu, setidaknya juga melibatkan aspek situasi ‘penjajah dan terjajah.’
Berbeda dengan tanah Jawa yang dikuasai oleh penjajah sejak pertengahan abad ke 19, tetangganya, Bali, baru dikuasai penuh sejak awal abad ke-20, ketika Raja Badung dan Tabanan melakukan perang hingga titik darah penghabisan (puputan) dan berakhir dengan kehancuran dan banjir darah. Bali, sebelum abad ke 20 memang dalam benak para penjajah identik dengan kekerasan dan pertikaian internal. Selain itu Bali mereka kenal sebagai pasar budak. Namun citra ini akan segera pudar dan digantikan oleh citra lain yang dilekatkan oleh para penjajah.[1]
Imajinasi pulau Bali sebagai miniatur Hindu pra-Islam sudah dibayangkan oleh Raffles (1817) dan J. Crawford (1820). Imajinasi ini dilanjutkan oleh W.R. Hoevell dari Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen dengan meminta ilmuwan Sanskerta dan orientalis R.T Friedrich untuk menemukan Jawa Kuno, yang dalam bayangan Hoevell, Bali masa itu adalah Jawa pada awal abad ke 15, kemudian hilang akibat datangnya Islam. Friedrich menemukan kisah itu dari naskah-naskah lama dan mengembangkan gagasan Bali sebagai gudang kebudayaan Hindu. Gagasan ini terus diulang-ulang hingga masa-masa berikutnya hingga menimbulkan kebijakan politis pemerintah kolonial. Bagi mereka, Miniatur Hindu Pra-Islam ini harus dijaga dari dunia luar, termasuk Islam. Perasaan anti Islam ini tak mengherankan, karena gagasan mengenai Bali ini muncul dari kepala orientalis.[2]
Menurut Michael Picard, “The orientalist vision of Bali as Hindu Island surrounded by a sea of Islam was to have long-lasting consequences, for two related reasons. On the hand, by looking for the singularity of Bali in its Hindu heritage, and by conceiving of Balinese religious identity as formed through opposition to Islam, the Dutch set the framework within which the Balinese were going to define themshelves.”[3]
Kebijakan untuk mengembalikan atau bahkan membentuk Bali yang asli ini dikenal dengan Baliseering. Baliseering yang berarti ‘balinisasi Bali’, bertujuan untuk menciptakan kebangkitan budaya Bali yang diproduksi oleh pemerintah kolonial, agar kaum muda Bali menyadari nilai dari warisan budaya mereka, tentu budaya yang telah dibingkai dan diharapkan oleh pemerintah kolonial. Melalui Baliseering ini mereka memasuki aspek-aspek budaya dari orang-orang Bali dan mengarahkannya sesuai kehendak para kolonialis. Aspek-aspek itu antara lain meliputi arsitektur hingga seni. Melalui reproduksi karya seni, eksotisme Bali disebarkan ke penjuru dunia. Bali dibentuk sebagai citra Surga di Timur. Bali menjadi destinasi bagi orang-orang Barat untuk mencari kesenangan. Melarikan diri dari kesuraman perang dunia. Eksotisme Bali ditopang foto-foto atau gambar eksotis perempuan Bali yang telanjang dada.[4]
Citra Bali ini pula yang mengundang seorang seniman berbakat keturunan Jerman bernama Walter Spies untuk menetap di Bali. Aktivitasnya dalam bidang seni terutama lukis, membuat Walter Spies akhirnya ikut ‘terlibat’ dalam praktik Baliseering. Menjelang akhir dasawarsa 1920-an, beberapa seniman dan peneliti asing tinggal di Bali. Mereka ingin melindungi seni orang-orang pribumi di Bali dari ‘degenerasi’ dan ‘dekadensi’ Diantaranya adalah seniman terkenal Walter Spies dan Rudolph Bonnet. Spies sadar atau tidak melakukan ‘campur tangan’ terhadap kesenian di Bali. Menurut Spies,
“Pada kami-lah suku bangsa yang memberi sumbangan terhadap kebudayaan, dan yang memiliki pengetahuan hingga tingkat tertentu mengenai perkembangan serta kematian suku-suku bangsa yang angat beragam dengan budaya pribumi mereka – terdapat tugas untuk menunjuk bahaya yang mungkin menyebabkan rusak serta memudarnya seni tradisional, akibat tidak diacuhkannya beberapa unsur pribumi asli, mewanti-wanti mereka akan konsekuensi-konsekuensi mahal jika merintangi, khsusunya meniru mentah-mentah dan membabi buta ungkapan-ungkapan asing, tanpa sedikitpun memahaminya”[5]
Rudolph Bonnet memahami seni di Bali terkena imbas pengaruh Barat, terutama seni arsitektur dan cara berpakaian, dan oleh karenanya harus bersihkan dari pengaruh tersebut. Ia bahkan member penilaian mana yang “baik” (atau tradisional) dan salah (secara Barat) terhadap karya seni Bali.[6]
Upaya pemurnian seni (lukis) Bali ini justru ironis, karena di lain sisi, para seniman barat tersebut justru membentuk sebuah ‘genre’ lukisan Bali yang baru, terutama di Bali Selatan. Warna, ukuran, tema dan pemasaran berkelindan mempengaruhi seni lukis Bali. Lukisan-lukisan pemandangan pedesaan yang indah, berlatar belakang alam yang hijau mengesankan pemandangan Bali yang damai dan tenang. Hal ini tentu saja sesuai dengan gambaran orang-orang Barat tentang bali yang eksotis, dengan pemandangannya yang indah. Gambaran-gambaran seperti ini yang membuat orang-orang Bali membuat lukisan dalam ukuran kecil, agar muat dikoper milik turis. Maka citra-citra itulah yang terus direporduksi dan digaungkan ke dunia luar.
Walter Spies yang tinggal di Ubud, membentuk kelompok Pita Maha yang berpengaruh dalam kesenian di Bali. Pita Maha menjadi semacam ‘pemandu’ bagi seni di Bali. Namun aktivitas Spies, bukan hanya di bidang lukis saja. Tetapi juga kehidupannya sebagai seorang homoseksual di Bali.
Spies, bukan satu-satunya homoseksual di Bali, bahkan citra Bali sebagai Surga di Timur telah membuat Bali menjadi salah satu ‘tujuan’ kaum homoseksual dari Barat. Mengindari tekanan di tempat asalnya. Citra Bali sebagai Sex Tourism saat itu boleh jadi karena gambaran-gambaran yang dibentuk oleh orang-orang barat dan pemerintah kolonial yang menjual eksotisme (dan erotisme), terutama perempuan-perempuan Bali. Satu hal yang pasti, citra Bali sebagai ‘Surga di Timur’ yang dibentuk oleh pemerintah kolonial dan peneliti asing sebenarnya menutupi kesengsaraan dan kepahitan hidup di Bali. Kemiskinan yang menjerat rakyat Bali, tak lepas dari sikap tak acuh pemerintah kolonial. Pajak yang mencekik, kemiskinan hingga kegagalan panen menjadi derita bagi rakyat Bali.[7] Hal ini mendorong timbulnya prostitusi di Bali, bahkan prostitusi homoseksual. Miguel Covarrubias, penulis buku Island of Bali (terbit tahun 1937) menuliskan pengamatannya terhadap prostitusi homoseksual di Bali,
“I have been asked by a naive Balinese why it is that white men so often prefer boys to girls. I could only\deny his strange idea, but later I found the explanation when I observed the alarming number of mercenary homosexuals around the hotels at night.”[8]
Perilaku homoseksual, bukannya diterima masyarakat Bali, namun, dalam kondisi terjajah, maka relasi antara kaum kulit putih sebagai penguasa dan rakyat Bali sebagai masyarakat yang terjajah menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Margaret Mead, dalam bukunya Male and Female (1950), mengungkapkan kekhawatiran masyarakat Bali tentang homoseksualitas,
“When the fear of passivity is also present in the minds of adults – that is, when homosexuality is recognized in a society, with either approval or disapproval – the fear is exacerbated. The parents begin to pick on the child, to worry about his behaviour, to set him trials, or to lament his softness. Why did the eight year old little Balinese boy Gelis sit around all day with the women and girls, his head cradled against any convenient knee, instead of taking the oxen out to the fields?”[9]
Meski dirundung kekhawatiran bagi masyarakat Bali, hal itu tidak mengkhawatirkan Walter Spies. Ia tetap dikenal sebagai homoseksual, setidaknya oleh teman-temannya. Menetap di Ubud, memungkinkan Spies banyak berinteraksi dengan masyarakat pribumi di sana. Ia bahkan bersikap baik terhadap anak-anak di sana, misalnya ketika ia mengundang anak-anak di sana untuk merayakan natal di rumahnya. Aktivitasnya di Pita Maha yang berinteraksi intens dengan masyarakat lokal membuat menjadi dikenal. Para pemuda Bali pun menjadi muridnya dalam melukis. Namun dibalik aktivitas seninya, Spies tak bisa melepaskan hasratnya terhadap pemuda Bali, meski ia sedang dalam kegiatan yang berhubungan dengan seni. Dalam suratnya kepada Jane Belo dan Colin McPhee tahun 1935, ia menulis,
“One of the latest of our joys is the Gengong orchestra in Batuan. The same that Colin never had a chance to hear – they are marvellous!! I call them very often to my house; it is one of the most soft, gentle, halus, unnoisy kind of chamber music you can imagine! And the boys look one more beautiful and appetizing than the other. So clean and loveable – without any panoes, boelenaar, or any other skin trouble! “[10]
Margaret Mead adalah teman Spies yang mengetahui kehidupan (homo)seksual Spies. Meski Ia menyebut Spies bukan homoseksual yang ‘predator’ dan ‘agresif’ tetapi Mead mengindikasikan Spies memang memiliki hubungan seksual dengan muridnya. Hubungan seksual Spies dengan muridnya tak bisa dianggap sebagai hubungan sukarela. Hubungan tersebut tak bisa dilepaskan dari hubungan bersifat eksploitatif antara ras kulit putih yang ‘dominan’ dan orang pribumi yang terjajah.[11] Dan mereka tak sungkan-sungkan untuk melakukannya kepada orang pribumi (Bali), terutama kepada yang lebih muda (Spies kerap memanggil mereka dengan panggilan‘boys’).
Pada tahun 1938 pemerintah kolonial mulai melakukan pembersihan besar-besaran terhadap kaum homoseksual dan pedofilia. Sebenarnya, peraturan di Hindia Belanda tidak melarang tindakan homoseksual. Dalam peraturan No. 292, hanya melarang hubungan dengan anak dibawah umur. Maka banyak homoseksual dijerat dengan tuduhan pedofilia. Meski Spies bukan seorang pedofilia, namun ia tampaknya mengetahui (dan tidak menentang) temannya, Roelof Goris yang diketahui seorang pedofilia.[12]
Walter Spies pun akhirnya dituduh terlibat hubungan seks dengan anak oleh pemerintah kolonial, karena secara ‘hukum’ ia berhubungan seks dengan pemuda Bali yang berusia dibawah 21 tahun. Aksi pembersihan besar-besaran pemerintah kolonial ini membuat kaum homoseksual di Bali ketakutan. Dalam sebuah surat seorang teman Spies, yaitu Jane Belo, tersirat betapa banyaknya kaum homoseksual di Bali dan menggambarkan kepanikan mereka atas aksi pembersihan tersebut,
“At least half of the people living in Bali have been asked to leave, or have left on their own accord, one dares not wonder why.”[13]
Aksi pembersihan pemerintah kolonial memang tak bisa dilihat sebagai aksi moral, tetapi lebih sebagai pencitraan kolonial di mata kaum pribumi. Karena secara hukum pun pemerintah kolonial tak melarang aktivitas homoseksual di kalangan orang dewasa. Pembersihan ini bukan hanya terjadi di Bali, namun juga di Pulau Jawa.
Di Jawa, tepatnya di Bandung, salah satu kasus disebut-sebut sebagai pemicu aksi pembersihan besar-besaran ini. Seorang pelajar pribumi diperkosa oleh gurunya. Kemudian seorang Eropa bernama Fievez de Malines, yang merupakan pejabat kolonial di Jawa Barat di tahan di Makassar, karena berhubungan seks dengan anak di bawah umur. Asisten Residen Coolhas juga di tahan. Di Batavia, polisi disebutkan menangkapi anak-anak jalanan dan membariskan mereka di depan barisan laki-laki Eropa yang dicurigai; bila anak-anak remaja tersebut menunjuk salah satu laki-laki Eropa tersebut, itu dianggap mengindikasikan bahwa laki-laki tersebut telah melakukan hubungan seksual dengan mereka, dan orang-orang Eropa tersebut kemudian ditahan.[14]
Salah satu cerita mengenaskan tentang aktivitas homoseksual justru terjadi di Penjara. Bung Karno, yang kelak menjadi presiden pertama Indonesia, menceritakan kisah mengenasan praktik menyimpang tersebut, saat ia dibui oleh pemerintah kolonial di Penjara Sukamiskin. Bung Karno menceritakan betapa nestapa kehidupan di Penjara, termasuk aktivitas homoseksual yang terjadi di sana. Bung Karno menyaksikan sendiri dengan gamblang bagaimana penyimpangan itu terjadi,
“Dihadapanku laki-laki melakukan pertjintaan dengan laki-laki lain. Seorang Belanda jang tjerdas dan potongan orang gede-gede membanting-tulang seperti budak dibagian benatu pendjara. Aku sedang berada dekatnja ketika pendjaga pendjara menjampaikan kepadanja bahwa ia akan dipindahkan bekerdja ketempat jang lebih tjotjok dengan pembawaan mentalnja daripada pekerdjaan membudak jang telah dilakukannja begitu lama. ,,Kami akan dipindahkan tuan besok, kata pendjaga itu. ,,Mulai dari sekarang tuan tidak perlu lagi membungkuk dibak-uap dan tangan tuan tidak akan mengelupas lagi dalam air jang mendidih. Karena kelakuan tuan jang baik, tuan diberi pekerdjaan ringan dirumah-obat. Belanda itu mendjadi takut. Mulutnja bergerak gugup. ,,0 tidak. teriaknja sambil menggapai tangan pendjaga itu. ,,Tidak ……… tidak……ach, tidak. Djangan aku dipindahkan kesana
Pendjaga jang keheranan itu menjangka orang tahanan itu salah dengar. ,,Tuan tidak mengerti, kata pendjaga mengulangi. ,, Ini suatu keringanan. Keringanan untuk mengerdjakan jang lebih mudah.
,,Djangan…….. djangan,” orang tahanan itu membela pendiriannja. ,,Pertjajalah padaku, aku tidak mau keuntungan ini. Kuminta dengan sangat, biarkanlah aku bekerdja dibagian benatu. Biar bekerdja keras.”
“,,Kenapa ?” tanja pendjaga tidak pertjaja.
“,,Karena,” bisiknja, “,,Tempatnja tertutup disini dan aku selalu dilingkungi orang sepandjang waktu. disini aku bisa berhubungan rapat dengan orang-orang disekelilingku. Sedang dirumah-obat aku tak mendapat kesempatan ini dan tidak akan bisa menggeser pada laki-laki lain. Djangan…….djangan pindahkan aku kesana. Inilah akibat pengurungan terhadap manusia.” .[15]
Penyimpangan homoseksual kala itu melanda banyak orang kulit putih (orang Eropa). Namun korban mereka adalah orang-orang pribumi. Terutama yang berusia lebih muda. Sukarno menceritakan salah satu kisah seorang homoseksual kala itu,
“Sungguh banjak persoalan homoseksuil diantara orang kulitputih. Seorang Belanda berambut keriting, dengan pundaknja jang lebar dan sama seperti laki-laki lain jang bisa dilihat dimana-mana, telah didjatuhi hukuman empat tahun kerdja berat. Kedjahatannja, karena bermain-main dengan anak-anak muda. Tapi walaupun dihukum berkali-kali untuk menginsjafkannja, namun nampaknja ratusan anak laki-laki jang berada disekelilingnja adalah satu-satunja obat bagi penjakitnja, wallahu’alam. Hukumannja telah habis dan dipagi ia meninggalkan pendjara, kukira dia bisa baik lagi.”
“Sebulan kemudian dia menonton bioskop. Dia duduk dibangku depan dikelilingi oleh delapan atau sembilan anak-anak muda. Orang kulitputih berambut pirang dan berbadan besar duduk dikelas kamhing jang disediakan untuk orang Bumiputera tentu mudah diketahui orang. Terutama kalau perhatiannja tidak terpusat kepada film. Djadi, kembalilah ia mengajunkan langkah menudju bui. Pendjara bukanlah obatnja. Ia kembali keselnja jang lama sebelum keadaannja berobah.”[16]
Orang-orang kulit putih (Eropa) tersebut tampaknya memang terbuka dengan penyimpangan (homoseksual mereka) kala itu. Terutama yang terjadi di perkotaan. Bahkan hal ini menimbulkan praktek pelacuran, seperti yang terjadi di Bali dan Jawa. Dalam satu kesempatan, Sukarno kembali bertutur mengenai praktek mengenaskan praktek homoseksual yang terjadi pada masa itu,
“Djenis manusia jang begini berkumpul disuatu tempat dikota. Suatu hari terdjadi ribut-ribut disebuah hotel dan polisi datang. Seorang pemuda kedapatan terbaring dilantai disalahsatu kamar menangis dan mendjerit.”
“Ia dalam keadaan telandjang dan mendjadi apa jang disebut pelatjur. Langganannja adalah tiga orang Belanda berbadan tegap dan kekar. Apakah jang mendjadi sebab dari kegemparan ini ?” Anak pelatjur itu kemudian menerangkan sambil tersedusedu, ,,Mula-mula jang satu itu dari Korps Diplomatik ingin dengan saja, lalu kawannja. Sekarang jang ketiga mau dengan saja lagi. Saja tjapek. Saja katakan, saja tidak sanggup lagi dan apa tindakannja ? Dia memukul saja !
Orang kulitputih itu dimasukkan kesel dibawahku. Disini ia berusaha lagi menawarkan kegemarannja itu.
“Pada waktu tidak ada orang disekelilingku, kutanjakan hal in kepadanja. ,,“Kenapa?” tanjaku. ,,Kenapa engkau mau bertjinta denganku ?” Dan ia mendjawab, ,“,Karena disini tidak ,ada perempuan.”
Aku mengangguk, ,,“Memang benar. Aku sendiri djuga menginginkan kawan perempuan, tapi bagaimana bisa……….”
“Kemudian ia menambahkan, ,,“Jah, apalah perempuan itu kalau dibandingkan dengan lelaki?”
,,”Ooooh,” kataku terengah. ,,“Kau sakit !”[17]
Melihat kasus-kasus di atas, baik di Jawa ataupun Bali pada masa kolonial, terutama pada awal abad ke 20, kita dapat melihat, praktek homoseksual pada masa kolonial utamanya terjadi di kalangan kulit putih, yang dengan terbuka menunjukkan penyimpangan mereka. Dan penyimpangan itu acapkali dilakukan terhadap orang-orang pribumi, yang statusnya saat itu sebagai orang-orang dari bangsa yang dijajah. Dengan superioritas ‘status’ mereka atas orang pribumi, mereka menjerat orang pribumi sebagai objek pemuas nafsu seksual mereka. Tentu saja bukan berarti homoseksual hanya dilakukan oleh orang kulit putih. Orang pribumi yang mengidap homoseksual pun ada, sebagaimana yang disebut Tom Boellstorff.[18] Disebutkan, mengutip biografi Sucipto, kaum homoseksual biasaya berkumpul, namun ternyata tidak semuanya benar-benar homoseksual. Sebagian ada yang melakukannya demi uang. Sebagian lainnya laki-laki yang bersikap seperti perempuan.[19] Namun pada masa itu, kaum homoseksual kulit putih-lah yang menunjukkan eksistensi mereka, dan seringkali menjerat orang pribumi sebagai objek pelampiasan nafsu mereka. Kehadiran kaum homoseksual dalam sejarah Indonesia, tak dapat dipungkiri adanya. Namun yang penting adalah, seberapa besar pengaruhnya terhadap masyarakat? Dan bagaimana respon bangsa kita pada saat itu terhadap perbuatan yang disebut Bung Karno sebagai ‘sakit’ itu?
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa
[2] Nordholt, Henk Schulte. 2002. Krimintalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Picard, Michael. 1997. Cultural Tourism, Nation-Building, and Regional Culture: The Making of a Balinese Identity dalam Tourism, Ethnicity and the State in Asian and Pacific Societies. Honolulu: University of Hawai’i Press
[3] Picard, Michael. 1997.
[4] Ibid dan Sitompul, Jojor Ria. 2008. Visual and Textual Images of Women: 1930s Representations of Colonial Bali as Produced by Men and Women Travellers. Disertasi pada University of Warwick: Tidak diterbitkan.
[5] Nordholt, Henk Schulte. 2002.
[6] Vickers, Adrian. 1996.
[7] Nordholt, Henk Schulte. 2002.
[8] Green, Geofrey Corbet. 2002. Walter Spies, Tourist Art and Balinese Art in inter-war Colonial Bali. Disertasi pada Sheffield Hallam University: Tidak diterbitkan.
[9] Ibid. Penulis tidak sependapat dengan beberapa peneliti (misalnya Adrian Vickers) yang menganggap homoseksual sebagai hal yang biasa saja bagi masyarakat dan budaya Bali. Terdapatnya beberapa literatur dalam budaya Bali mengenai seks (sejenis) belum tentu mewakili secara umum dan berpengaruh terhadap masyarakat dan budaya Bali. Tulisan Margaret Mead menegaskan respon masyarakat. Baca juga Geofrey Corbet Green tentang respon masyarakat Bali terhadap sex tourism dan homoseksualitas.
[10] Ibid. Cetak tebal dari penulis
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Boellstorff, Tom. 2005. The Gay Acrchipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia. New Jersey: Princeton University Press
[15] Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. 1966. Jakarta: PT Gunung Agung
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Boellstorff, Tom. 2005. Namun klaim Boellstorff ini, terutama pada persoalan budaya dan kutipan Encyclopaedie van Nederlandsch-indie perlu dikaji lebih dalam. Beberapa kasus kisah homoseksual pribumi seperti Sucipto, atau terjadi di Padang, Makassar tak bisa serta merta disebut mewakili pandangan masyarakat dan disimpulkan sebagai perilaku homoseksual diterima masyarakat kala itu.