JAKARTA (jurnalislam.com)– Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyoroti lambannya langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji 2023–2024 di Kementerian Agama (Kemenag).
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyatakan kecewa karena setelah satu bulan penyidikan berjalan, KPK belum juga mengumumkan siapa tersangka dalam perkara yang ditaksir merugikan keuangan negara lebih dari Rp1 triliun itu.
“Bukti-bukti sudah cukup, mestinya sudah ada penetapan tersangka. Siapa pun yang terlibat, baik dari unsur pemerintah maupun swasta, harus bertanggung jawab,” tegas Boyamin, dikutip dari RMOL, Senin (8/9/2025).
Ia menilai, tambahan kuota haji sebanyak 10 ribu justru dijadikan ajang jual-beli, sehingga membuka ruang pungli, gratifikasi hingga pemerasan.
“Kalau soal menteri, ya biar KPK yang menentukan. Kalau alat bukti sudah cukup, mestinya sekarang saat yang tepat untuk menetapkannya,” lanjutnya.
Meski begitu, Boyamin mengingatkan agar KPK tidak gegabah menetapkan tersangka jika buktinya belum kuat, agar tidak kandas di praperadilan. Namun, ia menekankan akar masalah berawal dari kebijakan menteri yang mengubah komposisi pembagian kuota khusus.
Kasus ini mulai disidik KPK pada 8 Agustus 2025 dengan pasal sangkaan korupsi Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU Tipikor.
Padahal, menurut UU No. 8/2019, pembagian kuota haji jelas: 92 persen untuk jamaah reguler dan 8 persen untuk khusus. Akan tetapi, kuota tambahan 20 ribu dari Arab Saudi justru dibagi 50:50, menyimpang jauh dari aturan.
Dalam proses penyidikan, KPK sudah melakukan penggeledahan di kantor Kemenag, rumah pejabat terkait, hingga kantor biro travel haji. Pada awal September lalu, penyidik juga menyita barang bukti berupa uang tunai senilai 1,6 juta dolar AS, empat mobil, serta lima bidang tanah dan bangunan.