Ada Apa dengan Kekerasan Seksual?

Ada Apa dengan Kekerasan Seksual?

Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania
(Direktur CGS dan Ketua Bidang Kajian AILA Indonesia)

JURNIS – Pengaruh feminisme dalam kampanye penghapusan kekerasan seksual tampak jelas dari penggunaan kata-kata “relasi kuasa atau relasi gender” dalam definisi kekerasan seksual yang menyiratkan peperangan terhadap konsep patriarki. Kekerasan seksual yang dimaksud para feminis merupakan  bentuk dari  gender-based violence atau kekerasan berbasis gender, yaitu mencakup orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender.[4] Dalam konsep kekerasan seksual, dominasi historis, sosial, dan politik laki-laki atas perempuan (patriarki) adalah akar penyebab kekerasan berbasis gender. Norma gender yang merendahkan peran perempuan dalam masyarakat dan peran keluarga juga dianggap sebagai penyebab kekerasan seksual.[5] Upaya penghapusan kekerasan seksual menurut mereka  harus dimulai dengan mendefinisikan ulang norma dan kultur  gender karena di dunia modern  masih terdapat banyak bias gender, kekuasaan atau kontrol terhadap perempuan dan anak perempuan.[6]

Filosofi yang mendasari munculnya konsep kekerasan seksual adalah pandangan bahwa  kebebasan sejati perempuan hanya bisa diwujudkan  apabila perempuan dapat mengontrol tubuhnya sendiri, my body is mine. Salah satu elemen penting patriarki adalah kontrol terhadap aktivitas seksual dan reproduksi dari tubuh perempuan.[7]Pandangan tersebut merupakan ciri khas “worldview” kaum feminis radikal.  Menurut Simone de Beauvoir, meskipun perempuan telah memperoleh haknya untuk dapat berperan di ranah publik, berpendidikan tinggi, serta memiliki hak politik, hal tersebut belum cukup untuk memberikan kebahagiaan sejati bagi  kaum perempuan. Baginya, struktur sosial tidak pernah bisa dimodifikasi atau diubah dengan adanya pengakuan terhadap hak-hak perempuan tersebut.[8]   Wanita hanya  akan selalu menjadi pelengkap laki-laki dan tertindas jika perempuan belum memiliki kekuasaan penuh atas tubuh dan aktivitas seksual mereka.

Tidak sulit untuk menilai kuatnya pengaruh feminis radikal apabila kita lebih kritis dalam membaca definisi dari bentuk-bentuk kekerasaan seksual yang mereka kampanyekan,  seperti perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, kontrol seksual, dan lain-lain. Perkosaan sebagai kekerasan seksual, tidak lagi dipahami sebagai perkosaan yang dikenal selama ini oleh masyarakat luas. Gerakan feminisme dan revolusi seksual di Barat telah berhasil memperluas makna perkosaan dan mengubah definisi hukumnya. Sebagian negara di dunia menyetujui untuk mengadopsi “standar internasional” tentang perkosaan ini. [9] Kaum feminis di mayoritas negara bagian Amerika Serikat telah berhasil mengganti definisi hukum perkosaan. Begitu pula dengan Inggris Raya (UK) yang telah mengadopsi perubahan tersebut dengan disahkannya Sexual Offences Act 2003. Dalam Undang-Undang tersebut definisi perkosaan diperluas dan menggunakan definisi hukum “persetujuan” (concent). Namun, pada pelaksanaannya, Undang-Undang tersebut dianggap ambigu sehingga mengundang banyak kontroversi bagi masyakarat Barat sekalipun mereka sangat liberal dalam hal seksualitas. [10]

Definisi perkosaan yang diperluas ini merupakan revolusi yang berhasil dilakukan feminis Barat karena telah mengubah cara pandang masyarakat tentang perkosaan. Kini, revolusi tersebut dipropagandakan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan cara mem-blowup kasus-kasus perkosaan guna memperoleh dukungan terhadap kampanye penghapusan kekerasan seksual. Definisi perkosaan semacam ini di satu sisi memunculkan “ancaman” bagi pihak yang melakukan hubungan seksual secara legal, namun di sisi lain justru memunculkan “perlindungan” terhadap penyimpangan seksual, seperti pelaku prostitusi. Perkosaan dapat terjadi apabila aktivitas seksual tidak dilakukan sesuai kesepakatan, misalnya apabila laki-laki tidak menggunakan kondom padahal ia telah setuju untuk menggunakannya. [11]

Tugas penting dalam agenda feminis adalah menyangkal bahwa apa yang perempuan kenakan, ke mana dia pergi, dan dengan siapa, atau pilihan seksual di masa lalu memiliki relevansi dengan persetujuannya untuk melakukan seks pada suatu kesempatan tertentu.[12]

Oleh karena itu, pakaian perempuan yang provokatif, tindakan flirting atau perilaku menggoda dari pihak perempuan, dan datang dengan sukarela ke kamar seorang laki-laki tidak dikategorikan sebagai tindakan berisiko (unsafe behaviour) yang dapat memicu terjadinya perkosaan. [13] Menurut mereka, penyebab utama dari perkosaan atau kekerasan seksual lainnya adalah rape culture yang selama ini tertanam dalam pikiran laki-laki untuk mengontrol dan menindas perempuan dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Dalam banyak aksinya, kaum feminis kerap melakukan aksi telanjang dada sebagai simbol penguasaan penuh akan tubuh mereka.

Kata kunci dari konsep kekerasaan seksual yang diusung feminis adalah adanya paksaan atau tidak adanya persetujuan dari seseorang, bukan pada baik atau buruknya perilaku seksual tersebut ditinjau dari kesehatan, nilai-nilai agama, sosial, dan budaya yang terdapat pada suatu masyarakat. Akibatnya, perilaku seksual yang selama ini dianggap menyimpang dan berisiko tinggi tertular penyakit kelamin mematikan, seperti perzinaan dan LGBT, justru tidak dianggap sebagai bagian dari bentuk kekerasan seksual karena perzinaan pada umumnya dilandasi suka sama-suka dan bukan paksaan. Perilaku LBGT tidak bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual apabila dilakukan dengan kesadaran dari pelakunya. Bahkan, orang-orang yang menolak perilaku LBGT  dianggap telah melakukan kekerasan seksual karena tidak dapat menerima pilihan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda. Begitupun dengan tindakan pelacuran, aborsi, dan nudity yang dilakukan atas kemauan sendiri tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual jika tidak ada unsur pemaksaan. Menurut konsep kekerasan seksual, yang termasuk bentuk kekerasan adalah tindakan pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, pemaksaan nudity, dan lain-lain sehingga apabila ditafsirkan secara a contrarioatau kebalikan maka perbuatan-perbuatan tersebut jika dilakukan dengan kesadaran dan tanpa tekanan atau paksaan maka dapat dilegalkan secara hukum.

Ketika dilakukan upaya Judicial Review (JR) pasal-pasal KUHP tentang kesusilaan untuk membuat suatu norma hukum baru terkait perilaku LGBT dan perzinaan,  kelompok pendukung feminisme di Indonesia justru menolak upaya JR tersebut dengan dalih penghormatan pada Hak Asasi Manusia. Mereka menganggap hubungan seks di luar perkawinan (perzinaan) rata-rata bersifat ambigu dan dapat digunakan sebagai sarana kultural yang akan membebani perempuan. Beban tersebut diakibatkan oleh tuntunan masyarakat pada perempuan untuk menjaga kesuciannya karena kesucian perempuan dianggap sebagai simbol kesucian masyarakat.[14]

Pandangan semacam ini tentu sangat keliru. Seks di luar nikah dalam budaya Indonesia tidak pernah menjadi suatu hal yang ambigu, apalagi dianggap membebani perempuan. Kajian sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sejak dulu menentang perilaku seks bebas karena mereka berusaha mengamalkan ajaran moral dan agama yang dianutnya. Suatu ajaran moral atau agama hanya menjadi beban bagi seseorang apabila orang tersebut tidak meyakini kebijaksanaan atau manfaat yang terkandung dari ajaran moral dan agama tersebut. Ambiguitas tentang seks di luar nikah merupakan fenomena modern, bahkan di dunia Barat sendiri, ketika moralitas dan agama tidak lagi mewarnai produk hukum di suatu negara dengan dalil kebebasan atau kemerdekaan seksual.

 

Catatan kaki:

[4] Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Februari 2017

[5] Dinah Douglas, et all.  2015. United Nation Women Background Guide.

[6] (http://www.irinnews.org/feature/2004/09/01/definitions-sexual-and-gender-based-violence)

[7] Dijelaskan pada  https://plato.stanford.edu/entries/feminism-rape/ “Feminist views of rape can be understood as arrayed on a continuum from liberal to radical. Liberal views tend to regard rape as a gender-neutral assault on individual autonomy, likening it to other forms of assault and/or illegitimate appropriation, and focusing primarily on the harm that rape does to individual victims. More radical views, in contrast, contend that rape must be recognized and understood as an important pillar of patriarchy. Johnson defines patriarchy as a social system in which men disproportionately occupy positions of power and authority, central norms and values are associated with manhood and masculinity (which in turn are defined in terms of dominance and control), and men are the primary focus of attention in most cultural spaces (2005, 4-15). Radical feminists see rape as arising from patriarchal constructions of gender and sexuality within the context of broader systems of male power, and emphasize the harm that rape does to women as a group.”

[8] Simone de Beauvoir. 1956.The Second Sex, London : Lowe and Brydone (Printers) Ltd.

[9] Debusscher,  Petra. 2015. Women’s Rights and Gender Equality : Evaluation of  the Beijing Platform for Action +20 and the opportunities for achieving  gender equality and  the empowerment of women in  the post-2015 development agenda.  Directorate General For Internal Policies Policy Department C: Citizens’ Rights And Constitutional Affairs.

[10] http://www.telegraph.co.uk/women/womens-life/10319902/Did-you-know-the-legal-definition-of-rape-and-consent-is-changing-Heres-how.html

[11] Sebagaimana diberitakan oleh daily telegraph :  “A man could be guilty of rape if he ‘tricks’ a women into bed; if he agrees to use a condom but then removes it or damages it; or, if he agrees to withdraw from her but refuses to at the end. So the offence of rape now definitely does not just concern the knife-wielding maniac in the alleyway. http://www.telegraph.co.uk/women/womens-life/10319902/Did-you-know-the-legal-definition-of-rape-and-consent-is-changing-Heres-how.html

[12] in sexual encounters, rape exists where consent is lacking, the question then becomes what counts as consent. Women’s sexual consent has in many instances been understood quite expansively, as simply the absence of refusal or resistance; feminists have criticized this approach on the grounds that, among its other untoward implications, it regards even unconscious women as consenting (MacKinnon 1989b, 340; Archard 1998, 85). Furthermore, it has too often been assumed that a woman’s appearance, attire, status, location, prior sexual history, or relationship to the man in question either function as stand-ins for consent (that is, as “asking for it”) or render her consent irrelevant or unnecessary. A vital task on the feminist agenda has been to challenge and discredit such ideas—to deny that what a woman wears, where she goes and with whom, or what sexual choices she has made in the past have any relevance to whether she should be seen as having consented to sex on a particular occasion.” https://plato.stanford.edu/entries/feminism-rape/

[13] Lihat mitos dan fakta  tentang kekerasan seksual https://www.law.georgetown.edu/campus-life/advising-counseling/personal-counseling/sarvl/general-information.cfm

[14] Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Judicial Review KUHP Pasal 284, 285 dan 292 tahun 2016

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses