Negara Abai, Pejuang Wabah Minim Proteksi

Negara Abai, Pejuang Wabah Minim Proteksi

Oleh : Oktarina Mahardiani*

Dalam menghadapi pandemi covid-19 yang mempunyai resiko tinggi untuk tertular adalah para tenaga medis mulai dari dokter spesialis, dokter umum, petugas kebersihan hingga seluruh pihak-pihak yang terlibat dan bekerja di rumah sakit.

 

Hal ini dikarenakan pekerjaan mereka yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan para pasien.

 

Mereka berkewajiban membekali diri dengan Alat Pelindung Diri (APD) untuk mencegah tertular atau menularkan pandemi kepada para pasien yang lain atau kepada orang sehat di sekitar mereka.

 

Dalam menjalankan tugas, resiko kematian selalu membayangi. Apalagi fakta yang terjadi banyak sekali tenaga medis yang meninggal ketika bertugas mengurus pasien covid-19.

 

Sehingga sebagai garda terdepan dalam pandemi seharusnya seluruh kebutuhan mereka baik dari sisi kesehatan maupun daya dukung hidup harus menjadi perhatian paling utama untuk dipenuhi dengan segera oleh pemerintah.

 

Tetapi pada kenyataannya, perhatian utama yang seharusnya diberikan kepada para tenaga medis ini belum sepenuhnya terwujud. Hal ini terlihat ketika ternyata pemerintah malah melakukan kebijakan-kebijakan baru seperti adanya seruan kepada masyarakat untuk berdamai dengan virus covid-19 dengan pelan-pelan dimulainya kehidupan normal seperti sebelum ada pandemi tetapi dengan protokol kesehatan yang lebih diperketat (new normal life).

 

Hal ini dilakukan sebagai cara agar perekonomian negara yang beberapa bulan ini terkena dampak pandemi bisa bangkit. Ajakan atau seruan oleh pemerintah ini bahkan sudah mulai terealisasi dengan dibukanya salah satu mall di Bekasi yang sebelumnya telah ditutup sementara. (kompas.com 27/5/2020).

 

Padahal faktanya pemerintah sendiri belum mampu mengkontrol jumlah pasien positif covid-19. Pada akhir Ramadhan bahkan mencapai jumlah tertinggi sebanyak 949 orang (kompas.com 23/5/2020). Dari data Gugus Tugas Covid-19 sampai dengan kemarin jumlah pasien positif masih di atas 500 orang, yaitu sebanyak 684 orang menjadi 28.233 orang. (kompas.com 3/6/2020).

 

Langkah kebijakan kontradiktif dari pemerintah yang terburu-buru ini malah justru semakin menambah beban kerja bagi para tenaga medis. Mereka meluapkan ekspresi kekecewaan dan rasa lelah karena bertambahnya beban kerja dengan tagar Indonesia Terserah yang sempat menjadi trending beberapa minggu yang lalu.

 

Hal ini dikarenakan lalainya pemerintah dari sisi kesehatan masyarakat termasuk sisi kesehatan para tenaga medis yang sebenarnya masih terancam oleh pandemi yang belum ditangani dengan baik, tetapi sudah mengambil langkah kebijakan-kebijakan baru yang justru membuat jumlah pasien positif bertambah setiap harinya. Sungguh sebuah ironi bagi para tenaga medis.

 

Ketika di satu sisi sebagai tenaga medis harus berkomitmen penuh pada pekerjaannya untuk menangani pasien meskipun rasa lelah dan takut selalu membayangi. Sedangkan di sisi lain jaminan kesehatan mereka pun harus mereka perjuangkan sendiri akibat kebijakan pemerintah yang tidak terintegrasi.

 

Ternyata tidak hanya proteksi kesehatan para tenaga medis saja yang terabaikan, untuk kebutuhan atau daya dukung hidup mereka pun seperti proteksi finansial juga belum maksimal terpenuhi.

 

Sebagian dari para tenaga medis belum mendapatkan tunjangan atau insentif seperti yang dijanjikan oleh pemerintah. Sebelumnya pemerintah menjanjikan pemberian insentif sebesar 15 juta untuk dokter spesialis, 10 juta untuk dokter umum dan gigi, 7,5 juta untuk bidan dan perawat, serta 5 juta untuk para tenaga medis lain (merdeka.com 25/5/2020).

 

Realisasinya belum sepenuhnya terwujud. Seperti yang disampaikan salah seorang perawat di RSPI Sulianti Saroso di Solo yang menyatakan belum menerima tunjangan tersebut hingga saat ini dengan alasan yang belum diketahui. Padahal insentif tersebut sangat diperlukan oleh para tenaga medis yg bekerja di rumah sakit swasta karena tahun ini mereka mendapatkan pemotongan THR Idul Fitri. (tempo.co 25/5/2020).

 

Bahkan kemudian karena keterbatasan dana dari pihak RS di daerah Ogan Ilir Sumatera Selatan sampai harus merumahkan ratusan para tenaga medis. Sebagian adalah perawat honorer yang hanya mendapatkan gaji 750 ribu sebulan (kompas.com 22/5/2020).

 

Tentu hal yang sangat menyedihkan jika para tenaga medis yang merupakan pejuang paling depan dalam menghadapi pandemi ternyata masih belum maksimal kebutuhannya terpenuhi oleh pemerintah.

 

Sementara masyarakat sendiri masih bergantung terhadap tenaga medis sebagai pelayan kesehatan. Prioritas untuk tenaga medis dan jasa pelayanan kesehatan terutama fasilitas RS yang mendukung kinerja mereka seharusnya sangat diutamakan.

 

Apalagi ketika menghadapi situasi pandemi seperti ini ketika banyak masyarakat yang terpapar kemudian sakit dan harus dirawat di RS dengan tempat perawatan yang penuh akan merepotkan tenaga medis seperti dokter dan perawat.

 

Fakta yang ada ternyata jumlah tenaga medis di Indonesia masih terbatas, terutama dokter spesialis paru yang hanya berjumlah 1.976 orang. Mengutip pernyataan Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyatakan “Artinya satu dokter akan menangani 245 ribu WNI. Sehingga apabila kehilangan dokter misalnya, karena meninggal terpapar covid akan menjadi kerugian yang besar bagi bangsa Indonesia.” (wartakota.tribunenews.com 21/5/2020).

 

Dari sini terlihat bahwa tenaga medis dapat disamakan seperti pasukan yang berdiri di garis paling depan ketika berperang dalam medan pertempuran. Kebutuhan dan jaminan hidup bagi mereka harus diutamakan karena mereka yang pertama kali mendapat serangan musuh dan sekaligus yang mengalami resiko paling tinggi untuk meninggal atau gugur.

 

Perjuangan pasukan tenaga medis ini adalah komitmen mereka terhadap pekerjaan yang harus mereka jalankan meskipun ancaman nyawa sebagai taruhan mereka ketika bekerja.

 

Maka sudah sewajarnya sebagai garda atau pasukan terdepan harus dilengkapi sarana dan fasilitas yang menunjang dalam pekerjaan mereka. Tidak hanya dari sisi kesehatan tapi juga dari seluruh kebutuhan mereka termasuk finansial. Karena apalah artinya pasukan jika tidak dilengkapi dengan perbekalan yang mencukupi. Tentu hanya akan menjadi pasukan bunuh diri.

 

Maka untuk memenuhi kebutuhan hidup dan jaminan dari sisi kesehatan para tenaga medis ini harus diupayakan sepenuhnya oleh pemerintah. Bahkan menjadi prioritas utama. Pemerintah tidak boleh abai.

 

Tetapi ketika kenyataannya banyak kebijakan pemerintah yang tidak terintegrasi sudah dapat dipastikan bahwa kebutuhan hidup para tenaga medis ini bukan menjadi hal utama. Langkah kebijakan yang diambil pemerintah justru lebih mengutamakan untuk menyelamatkan perekonomian negara dibandingkan dengan menyelesaikan kasus pandemi ini hingga ke akarnya.

 

Banyaknya kebijakan yang membingungkan dari pemerintah juga membuat sebagian masyarakat pada akhirnya mengabaikan aturan kesehatan pada saat pandemi untuk tidak berkumpul dan menjaga jarak. Mereka merasa bahwa virus ini bukan hal yang harus ditakuti.

 

Di samping juga dikarenakan tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga membuat mereka tetap mencari nafkah di luar rumah. Seluruh upaya kesehatan pada akhirnya hanya diupayakan oleh individu masyarakat.

 

Inilah yang terjadi jika sebuah negara mengemban ideologi kapitalisme. Kepentingan individu terutama dalam hal ini adalah kepentingan ekonomi lebih menonjol.

 

Berbeda halnya jika Islam yang dijadikan ideologi dalam bernegara. Dalam Islam kesehatan disamakan dengan kebutuhan pokok, sehingga negara bertanggung jawab secara langsung dalam memenuhinya. Negara dalam hal ini bertanggung jawab menyediakan segala sarana dan prasarana kebutuhan publik dengan taraf terbaik, tanpa menarik biaya sedikit pun dari masyarakat. Sebab negara dan pemerintah adalah raa’in, pelayan umat penyelenggara urusan publik.

 

Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِرْبِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan, dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya.” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).

 

Dalam hadis ini, kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi.

 

Gambaran ini terlihat ketika Islam diterapkan secara sempurna sebagai aturan hidup seperti pada masa Rasulullah, delapan orang dari Urainah datang ke Madinah menyatakan keislaman dan keimanan mereka. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa.

 

Nabi SAW kemudian memerintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Maal di Dzi Jidr arah Quba’, tidak jauh dari unta-unta Baitul Maal yang digembalakan di sana. Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih.

 

Raja Mesir, Muqauqis, pernah menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi SAW. Beliau menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum muslim secara gratis.

 

Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan. Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari Baitul Maal.

 

Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman. Di tempat itu ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan.

 

Dari beberapa gambaran di atas telah jelas bahwa Islam menetapkan jaminan kesehatan merupakan tugas dan tanggung jawab negara juga pemerintah.

 

Ketersediaan tenaga medis berikut sarana dan pelayanan kesehatan diberikan kepada masyarakat secara maksimal dan tanpa pungutan biaya.

 

aik tenaga medis maupun sarana dan pelayanan kesehatan seluruhnya digaji oleh pemerintah dengan mengambil dana dari Baitul Maal.

 

Sehingga ketika menjalankan tugasnya dalam kesehatan para tenaga medis tidak lagi mengkhawatirkan kebutuhan hidupnya karena seluruhnya telah tercukupi oleh negara. Apalagi ketika menghadapi situasi pandemi. Negara akan lebih mengutamakan tercukupinya kebutuhan hidup tenaga medis sebagai garda terdepan.  Wallahu ‘Alam[]

* Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.