Islam, Wujudkan Kedaulatan dan Kemandirian Pangan

Oleh:  Adibah NF

(Pegiat Literasi)

Dirilis dari Republika, bahwa kementrian pertahanan (kemenham) membangun area lahan kawasan perkebunan singkong pada 2021 hingga mencapai 30 ribu hektare, sebagi bagian dari program kemenham dalam mewujudkan cadangan logistik strategis nasional.

Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan (Menhan) yang dilansir dari laman resmi Kemenham, ahad (24/3), menyatakan bahwa, “Pertanian adalah masalah kebangsaan. Pangan adalah mutlak. Tak ada yang bisa dikerjakan tanpa pangan,” ujarnya.

Hal itu dikatakan saat meninjau perkembangan pembangunan kawasan perkebunan singkong di Kalimantan Tengah (KalTeng), Rabu(10/3) lalu. Salah satu kawasan perkebuban singkong sebagai upaya mewujudkan cadangan logistik strategis nasional atau bagian dari program food estate yang menjadi pusat pangan selain padi.

Hal-hal yang menjadi fokus Kemenhan dalam penataan food estate yaitu penyusunan Badan Cadangan Logistik Strategis Nasional (BCLSN), penataan logistik wilayah dan penetapan tata ruang untuk produksi cadangan pangan di Indonesia serta kerjasama dengan beberapa pihak dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional.

Karena yg menjadi tujuan dikembangknnya food estate sebagai pusat produksi cadangan pangan dari tanah milik negara dan sebagai cadangan melalui pengelolaan penyimpanan cadangan pangan untuk pertahanan negara serta melakukan distribusi cadangan pangan ke seluruh Indonesia.

Juru bicara menhan Dahnil Anzar Simanjuntak menjelaskan tentang tanaman yang menjadi pilihannya adalah singkong ,” kenapa singkong? Karena singkong adalah karbohidrat yang bisa dimodifikasi. Dari pertanian singkong itu bermanfaat banyak, bisa jadi mie, roti, dan lainnya, semua itu bisa diolah kemudian bisa jadi bahan bakar dan lain sebagainya. Jadi 30 hektare itu menjadi cadangan logistik  strategis, yang tdk akan menuggu cadangan logistik organik yang dibutuhkan masyarakat umum jika negara dalam kondisi darurat.” Jelasnya.

Dalam program ini, singkong telah ditetapkan sebagai prioritas proyek food estate (lumbung pangan) meski beberapa kritik terkait urgensitasnya, pilihan tempat, pilihan komoditas dan tidak adanya keselarasan dg kebijakan lain terkait pertanian dan impor.

Berkaitan dengan masalah tersebut, para ahli pun banyak yang  menyangsikannya, sebab food estate dikembangkan di bekas lahan gambut yang tidak layak untuk kawasan pertanian intensif. Guru besar IPB Profesor Dwi Andreas Santosa menilai, program food estate KalTeng berpotensi menambah daftar kegagalan proyek lumbung pangan karena mengabaikan kaidah ilmiah.

Alasan pertama adalah ketidak layakannya sebagai kawasan food estate. Selain itu, perlu juga memperhatikan persyaratan agroklimat atau kecocokan dengan alam sekitar, sementara lahan eks gambut mengandung asam sulfat dan berderajat  keasaman tinggi alias kurang subur. Alasan kedua,  ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai dan ketiga teknologi budidaya serta  keempat faktor sosial-ekonomi.

Selain kurang menghasilkan yang sesuai harapan, berpotensi menimbulkan kerusakan lingkunganpun sangatlah besar. Sebab lahan gambut memiliki karakteristik ekosistem berupa satu kesatuan. Jika salah satu bagian terganggu maka akan menimpa gambut disekitarnya yg menyebabkan menurunnya kemampuan serapan air gambut.

Akibatnya bisa banjir, dan lebih buruk lagi akan memunculkan gambut kering dan mudah terbakar. Oleh karenanya lahan eks gambut bukan dibangun proyek baru, tetapi semestinya dipulihkan dan dikembalikan kepada karakternya.

Kapitalisasi pertanian pun tercium kuat pada proyek yang konsen meningkatkan pengelolaan food estate ini. Karena proyek ini akan direncakan melalui investasi atau pola kemitraan. Yang menyebabkan peluang para korporat bisa mengambil dalam peran ketahanan pangan model pertanian dengan pelibatan para korporasi bisa dipastikan akan diberikan izin konsesi untuk pengelolaan lahan.

Jika demikian, maka negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, sementara pengelolaan diserahkan kepada korporasi. Baik swasta maupun BUMN. Inilah bentuk pengelolaan dan upaya pertahanan dari sistem kapitalis dalam menangani masalah food estate.

Konsep Islam mampu mewujudkan kedaulatan dan  kemandirian pangan.

Kemandirian pangan  merupakn isu strategis bagi kemandirian bangsa. Negara wajib menerapkan konsep swasembada pangan, membuat kebijakan demi terwujudnya kedaulatan dan ketahanan pangan. Tidak bergantung pada impor dari negara lain, yang justru memberi peluang untuk menguasai kaum muslimin.

Dalam sistem pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah sebagai kepala negara yang bertanggung jawab sepenuhnya dalam upaya peningkatan dan ketersediaan pangan bagi masyarakat.

Khalifah akan meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Mengenai cara Intensifikasi akan ditempuh dengan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik, negara akan menerapkan subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian kepada para petani dalam bentuk modal, peralatan, benih, pupuk, informasi dll.

Adapun ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan meningkatkan luasan lahan pertanian. Yang diolah sesuai konsep pengaturan lahan dalam Islam yaitu adanya pembagian kepemilikan. Baik lahan yang dimiliki individu, menjadi kepemilikan umum dan negara.

Selain itu, negara juga akan melakukan mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang penimbunan, penipuan, praktik riba, dan monopoli. Pengaturan atau manajemen logistik negara juga dilakukan dengan memasok cadangan lebih saat panen raya. Ditambah dalam teknisnya, negara akan mendistribusikannya secara selekif bila ketersediaan pangan berkurang.

Berdasarkn konsep kepemilikan ini maka tidak dibolehkan tanah hutan yang merupakan bagian dari milik umum (rakyat) dimiliki atau diberikan izin konsesi kepada swasta/swasembada meskipun untuk kawasan pertanian.

Alhasil, tidak diragukan lagi, semua upaya yang dilakukan hanyalah untuk memberikan jalan kepada swasta untuk melakukan pengelolaan, yang seharusnya negaralah yang melakukan pengelolaan dengan berbagai teknis sesuai konsep Islam. Negara abai dari tanggung jawab untuk mempertahankan, meningkatkan serta mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan sebagai modal tercapainya kedaulatan negara.

Bukan sebaliknya, malah menyerahkan kepada pihak lain (swasta) untuk mengelolanya melalui investasi dan kemitraan. Negara bisa bebas berlepas tangan karena sudah ada yang melakukan pengelolaan tersebut. Harus diperhatikan pula, jika yang menjadi bahan pokok negara adalah padi, maka lumbung pangan semestinya diprioritaskan pada padi, bukan pada singkong. Apabila terkendala kurangnya lahan karena penguasaan oleh swasta maka harus ada kebijakan tegas menghentikan alih fungsi lahan, agar lahan yang cocok bisa di tanam padi.

Alhasil, perlu adanya kebijakan untuk menyokong pertanian dan mengatur bahkan bisa jadi menghentikan impor jika pasokan mencukupi. Jangan sampai proyek berdana besar food estate ini rentan didompleng kepentingan segelintir investor tanpa bisa mencapai target kedaulatan pangan. Pada akhirnya negara tetap dalam keterpurukan dan krisis masalah pangan.

Semua Konsep yang ditawarkan Islam dalam sistem politik Islam, jelas jitu dalam mengatasi berbagai krisis, termasuk krisis pangan.

Karena khalifah menyadari fungsinya sebagai penanggunjawab utama dalam mengatur hajat rakyat, sebagai pelindung dan penjaga rakyatnya. Dengan demikian semua urusan kebutuhan dan keutuhan rakyat dan negara akan diatur dalam pengaturan sesuai dengan konsep islam dan dilaksanakan secara sempurna.

Wallahu ‘alam bishawab.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.