Kaum muslimin di Indonesia sekarang ini dikagetkan dengan munculnya video dari gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang isinya secara jelas mengatakan bahwa : “ Umat Islam jangan mau dibohongi dan dibodohi oleh Al Maidah 51 “ Pernyataan Gubernur yang notabene bukan muslim ini langsung mendapat respon dari kaum muslimin di Indonesia . Pernyataan yang dianggap sudah masuk dalam penistaan agama, bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui pendapat dan sikap keagamaan yang dikeluarkan tanggal 11 Oktober 2016 menyatakan :
Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan :
(1) menghina Al-Quran dan atau
(2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum [1]
Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang mewakili umat Islam di Indonesia akhirnya merekomendasikan kepada aparat penegak hukum di Indonesia untuk bertindak tegas terhadap Gubernur DKI Jakarta ini. Dalam rekomendasinya point nomor 3 MUI menyatakan “ Aparat penegak hukum wajib menindak tegas setiap orang yang melakukan penodaan dan penistaan Al-Quran dan ajaran agama Islam serta penghinaan terhadap ulama dan umat Islam sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Respon Lambat dan Kemarahan Umat Islam
Lambatnya sikap aparat penegak hukum di Indonesia dalam memproses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta ini menyebabkan umat Islam marah dan turun demo ke jalan pada Aksi Bela Islam 2 yang dihadiri oleh 2,5 Juta kaum muslimin dari berbagai kota di Indonesia. Kemarahan umat Islam ini bukan tanpa dasar karena ini adalah bagian keimanan dan dibenarkan secara syariat:
Rasulullah Saw bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ. (رواه الترمذي).
“ Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR.At Tirmidzi)
Dalam Hadits lain Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
رواه مسلم
“ Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman” . (Riwayat Muslim)
Polri selaku aparat hukum di Indonesia berusaha merespon reaksi umat Islam dengan menetapkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka. Namun keputusan dengan menetapkan tersangka namun tidak dilakukan penahanan inilah yang kemudian memunculkan konflik baru di masyarakat dan kaum muslimin. Tidak sedikit pakar hukum maupun politik yang meragukan netralitas polri dan menilai keputusan polri ini dalam “ tekanan “ . sikap dan keputusan dari Polri inilah yang penulis lihat sangat rawan dan akan memunculkan konflik di masyarakat yang selama ini sudah terbina dengan baik . Dalam bahasa politik dan kenegaraan : “akan mengancam kebhinekaan yang sudah berjalan baik”
Masyarakat dan Umat Islam menyambut keputusan Polri ini dengan mengagendakan Aksi Bela Islam 3 yang menurut informasi akan diagendakan tanggal 2 Desember 2016. Aksi yang mungkin tidak akan terjadi jika Polri menyelesaikan akar dari masalah ini yaitu dengan menetapkan Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka dan menahannya sebagaimana kepolisian melakukan hal yang sama terhadap penista dan penoda agama seperti Lia Eden, dan yang lainnya.
Aksi Bela Islam 3 dan Negara Tanpa Pemerintahan ?
Aksi Bela Islam 3 yang hari ini popular dengan sebutan : “ Jihadul Kalimah “ berusaha untuk dicegah oleh Negara dan aparat penegak hukum . Presiden dengan melakukan safari politik dengan berbagai elemen Ormas Islam berusaha meredam gejolak dari umat Islam. Kapolri menghimbau kepada umat Islam untuk tidak datang ke Jakarta dan mengikuti Aksi Bela Islam 3 bahkan Kapolda Metro Jaya menyebarkan selebaran dengan menggunakan Helikopter untuk meredam aksi tersebut.
Negara Indonesia adalah hukum yang menganut sistem dan mengakui lembaga-lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Namun alangkah indahnya jika ketiga lembaga pemerintahan tersebut menjalankan perintah Tuhannya. Hal ini disampaikan oleh Abu A’la Al Maududi dalam buku The Islamic Law and Constitution [2]:
“Pemerintahan Islam mengenal lembaga-lembaga Legislaif, Eksekutif dan Yudikatif. Legislatif berfungsi sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa (Ahl Al – Hall Wa Al-Aqd). Hukum-hukum yang ditetapkan oleh lembaga ini tidak boleh bertentangan dengan aturan Ilahi. Eksekutif adalah lembaga yang berfungsi untuk menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui Al Qur’an dan As Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Kaum muslim diperintahkan untuk menaatinya dengan syarat bahwa lembaga Eksekutif ini menaati Tuhan dan Rasulullah SAW serta menghindari dosa dan pelanggaran. Yudikatif yaitu lembaga yang berfungsi untuk memutuskan perkara dengan berlandaskan pada hukum Tuhan.
Perkataan Abu A’la Al Maududi memang terkait dengan konsep pemerintahan Islam. Namun beberapa prinsip terkait adanya kekebasan kepada setiap pemeluk agama di Indonesia untuk menjalankan agamanya adalah hak seorang muslim untuk melindungi dan menjaga agama Islam dari penista dan penoda agama . dan hukum positif di Indonesia melindungi hak umat Islam tersebut dengan adanya pasal 29 UUD 1945 ,
Pasal 1 : Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha Esa
Pasal 2 : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing –
Masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dan Aksi Bela Islam merupakan hak seorang muslim untuk beribadah dan menjalankan agamanya sesuai dengan kepercayaannya tersebut dan hal ini tidak boleh dihalangi oleh lembaga pemerintahan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Apa yang dilakukan oleh aparat Negara hari ini dengan melarang umat Islam melakukan Aksi Bela Islam 3 menunjukkan bahwa Negara hari ini mulai kehilangan pemerintahan . Dalam teori Pemerintahan Islam, Muhammad Al Mubarak mengatakan[3] :
“ Islam tidak menentukan suatu bentuk pemerintahan tertentu, dan juga tidak menentukan apakah harus berdasarkan sistem presidensial atau parlementer. Islam memberikan ruang yang fleksibel dalam menentukan sistem pemerintahan dan bentuk Negara di atas prinsip-prinsip pokok sistem pemerintahan yang esensial dan tidak boleh diabaikan. Prinsip-prinsip itu adalah :
- Penentuan pemerintahan, kepala negara , pemimpinnya, dan pemilihannya harus memperhatikan aspirasi masyarakat dan pemimpin adalah haruslah orang yang terbaik dalam hal akidah (iman), ilmu, akhlak (moral), dan kecakapan politik administratif.
- Bai’at yaitu janji setia untuk menjalankan pememrintahan atas dasar Al Qur’an dan As Sunnah
- Pengikatan diri dan beriltizam (berpegang teguh) kepada kaidah-kaidah tasyri’ (hukum) yang dibawa Islam
- Syuro yaitu musyawarah
- Tanggung jawab
- Hak umat dalam mengevaluasi, memantau, dan mengkritik
- Kebebasan pemilikan umat dari milik pemerintah
- Persamaan derajat
- Keadilan
- Hak-hak manusia ditegakkan yaitu menjaga jiwa, kehormatan, akal, pikiran, harta, moral dan agama
- Solidaritas sosial
- Ketaatan atau tunduk kepada sistem , yaitu ketaatan kepada pemerintah selama taat kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw
Yang perlu dilakukan hari ini oleh negara Indonesia melalui aparat penegak hukum nya adalah bagaimana mewujudkan persamaan derajat untuk semua warga negara dalam hukum, menegakkan keadilan yang hari ini mulai dipertanyakan dengan adanya kasus penistaan dan penodaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta dan menjaga hak rakyat untuk mengevaluasi , memantau dan mengkritik negara.
Jika semua itu hari ini hilang di negara kita ini, maka tidak berlebihan kalau penulis mengatakan negara hari ini tanpa pemerintahan ?
Penulis:
Indra Martian P
Direktur Masyarakat Islam Indonesia , Dosen Al Islam STMIK Muhammadiyah Jakarta dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah PDM Kota Bekasi
[1] Majelis Ulama Indonesia, Pendapat dan Sikap Keagamaan ( Jakarta : 11 Oktober 2016 )
[2] Abu A’la Al Maududi , The Islamic Law and Constitution, Hal. 37
[3] Baca : Muhammad Al Mubarak, Nizham Al Mulk wa Ad Daulah 37-59