JURNALISLAM – Kapal besar ini semakin tak jelas arah serta tujuannya, sang nahkoda seperti kelimpungan tersesat arah untuk membawa bahtera ini menuju dermaga tujuan. Terlalu banyak para penyamun ikut menumpang, memanfaatkan kepolosan sang nahkoda. Para penyamun berhasil menyusup, seolah memberi angin surga, padahal sejatinya sedang bersiasat menggiring para penumpang untuk masuk ke dalam perangkap liciknya.
Perlahan mereka mulai menyandera kapal besar ini. Para penyamun memberikan dua pilihan kepada para penumpang: tetap tinggal di kapal dengan syarat loyal dan taat atau bagi yang melakukan perlawanan dan mengenggam erat idealismenya, maka tanpa iba akan menyeret mereka lalu menenggelamkannya ke dasar lautan.
Sungguh memilukan, kapal yang dibangun dengan jerih payah para penumpang tetapi hasilnya dinikmati oleh penumpang gelap yang tak jelas sumbangsih serta diragukan asal usulnya.
Cerita diatas kiranya menjadi gambaran dari realita kehidupan berbangsa serta bernegara yang nampak di pelupuk mata kita sebagai bagian dari bangsa ini. Akhir-akhir ini negeri titipan Sang Rahman bertubu-tubi dirundung duka. Detik ke detik rakyat dibuat resah dengan perilaku elit berbaju negara yang begitu diskriminatif memperlakukan rakyatnya. Kata demokrasi yang sering menggema tatkala pidato kenegaraan hanya kaya secara wacana namun miskin dalam tataran praksis. Mantra demokrasi hanya menjadi senjata kekuasaan untuk menebar ancaman dan ketakutan bagi rakyatnya. Dengan jumawa mereka memainkan skenario kejinya untuk menyeret siapa saja yang dianggap ‘mengancam keutuhan NKRI’.
Alasan ini terkesan ambigu, indikatornya tidak jelas, perlu kajian mendalam agar alasan yang diutarakan logis dan rasional. Alasan yang begitu diskriminatif, hanya menyasar pada golongan tertentu saja, sementara bagi mereka antek-antek kekuasaan melenggang bebas, mendapatkan privilege. Padahal kita adalah ahli waris republik ini.
Perkembangan demokrasi di Indonesia
Konstitusi Indonesia, UUD 1945, menjelaskan bahwa Indonesia adalah sebuah negara demokrasi. Presiden dalam menjalankan kepemimpinannya harus memberikan pertanggungjawaban kepada MPR sebagai wakil rakyat. Oleh karena itu, secara hierachy rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi.
Namun, dalam perjalanannya demokrasi di Indonesia berakhir dengan sangat tragis. Selain runtuhnya kekuasaan, dinamika demokrasi pun memakan korban dan terekam jelas dalam potret sejarah Indonesia tumbal demokrasi selalu mengarah terhadap umat Islam.
Pada era Soekarno, Indonesia sempat menerapkan demokrasi terpimpin tahun 1956, tak bertahan lama demokrasi terpimpin rubuh beserta para inisiatornya. Era orde baru ditandai dengan didaulatnya Soeharto sebagai kepala Negara pernah menggunakan demokrasi semu (demokrasi Pancasila).
Periode kelam dalam sejarah negeri ini dimana kebebasan dibelenggu, kontras dengan prinsip dasar demokrasi yang menggaungkan nilai kebebasan. Era demokrasi Pancasila pun tumbang setelah sebelumnya banyak menelan korban, terutama umat Islam yang kembali menjadi tumbal kekejaman demokrasi Pancasila rasa orde baru.
Hari ini kita memasuki alam reformasi. 19 Tahun reformasi membersamai kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi belum menampakan kemajuan berbangsa serta bernegara yang signifikan. Reformasi dengan demokrasi sebagai fondasinya hanya kian melemahkan kedaulatan bangsa. Demokrasi di era reformasi seperti pil pahit yang terpaksa kami telan. Semangat kritis sebagai kontrol kami terhadap kekuasaan menjadi sesuatu yang harus kami bayar mahal, kemerdekaan kami terpasung di negeri yang katanya sudah 72 tahun meneguk manisnya kemerdekaan.
Demokrasi detik ini kembali menjadi alat gebuk kekuasaan bagi mereka yang dirasa merongrong kekuasaan. Hari ini umat Islam kembali menjadi korban utama, dari mulai ulama sampai kalangan biasa. Dengan merancang skenario peradilan sesat mereka sukses menghantarkan target menuju jeruji besi. Dibangun narasi bahwa umat Islam tidak layak dijadikan tuntunan dan panduan, citra umat Islam dirusak dengan jargon ‘anti kebhinekaan dan keberagaman’. Sehingga membangun persepsi terhadap publik bahwa Islam tidak layak menjadi tuntunan dan panduan. Padahal jauh sebelum negeri ini lahir umat Islam di nusantara telah mengaplikasikan keberagaman yang begitu otentik di tengah-tengah masyarakat yang begitu majemuk serta heterogen.
Kembali kepada khittah pendiri bangsa
Pernyataan berani Hamka dalam Sidang Konstituante harus menjadi refleksi di tengah kondisi bangsa yang kering mata air keteladanan.
“Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka”.
Neraka ini bisa kita maknai neraka dunia. Sejak lahir kesusahan dan kesedihan terus bergelayut, seakan tak mau berpisah dari negeri ini. Negeri yang katanya gemah ripah lohjinawi ini hanya menjadi bancakan para elit, rakyatnya seolah mati dilumbung padi. Bangsa yang katanya besar seolah kesepian di tengah keramaian bahkan bodoh di perpustakaan.
Segenap elemen bangsa wajib memuhasabah diri, mengembalikan bangsa ini kepada khittah para pendirinya. Kembali menjalankan amanatnya untuk menerapkan nilai-nilai intervensi ilahiah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertumbuhan islam di negeri ini jangan dimaknai sebagai ancaman, pertumbuhan ini harus dirawat sebagai modal berharga untuk kembali mendorong negeri ini ke pintu kedaulatan dan kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebab kemerdekaan hakiki adalah lahirnya sistem yang amanah yang menghantarkan rakyatnya menuju gerbang kemenangan.